Secangkir Cokelat Panas (Part 2)

--Scene 4-- Kiriman Misterius

"Mbak Sha, ini ada kiriman", resepsionis memberitahuku saat aku melewati mejanya dari toilet.
Hey, aku kenal gelas kertas itu. Itu kan dari kedai kopi langgananku. Kuangkat gelas kertas yang hangat. Ada secarik kertas ditempel di bagian atas tutup gelas.

Aku membacanya:
Untuk menghangatkan & menyemangatkan pagimu.

Tidak ada nama pengirim.
"Kamu yakin ini untuk aku Put?", aku bertanya pada Putri, resepsionis.
"Iya mbak. Tadi pengantarnya bilang untuk Mbak Sha".
"Yang nganterin tadi siapa?", tanyaku.
"Kurir dari kedai kopi itu".
Oh kurir. Ya ampun Sha. Emang siapa yang kamu harap mengantarkannya? Tommy? Kalau pun ini kiriman dari Tommy, nggak mungkin dia yang mengantarnya sendiri. Dia kan dirut. Nggak ada kerjaan lain apa? Pikiranku sibuk berperang. Sambil senyum, aku membuka tutup gelas. Aroma cokelat panas pun merebak. Tapi siapa ya pengirimnya? Hati kecilku teriak "Tommy!".



--Scene 5-- Kurir Istimewa

"Mbak Sha, ada kiriman nih di mejaku", Putri memberitahuku melalui telepon.
Bergegas aku ke meja resepsionis.
"Dari mana Put, kirimannya pagi-pagi gini?", tenggorokanku tercekat. Tommy di hadapanku. Dia tersenyum padaku. Oh Tuhan, manis sekali. Aku rela pingsan sekarang kalau nggak ingat ada Putri.
"Tommy? Kamu ngapain pagi-pagi ke sini? Kamu tau dari mana kantorku?", aku memberondongnya dengan pertanyaan.
Lagi-lagi dia tersenyum dan menyodorkanku gelas plastik hangat.
"Kamu nggak nyuruh aku duduk dulu atau apa gitu?"
Aku tersenyum malu. Kuajak Tommy ke ruang yang biasa kami gunakan untuk menerima tamu.
"Dua hari ini kamu nggak keliatan di kedai kopi. Makanya aku datang sendiri nganterin kamu cokelat panas".
"Berarti yang kemarin itu juga kiriman dari kamu?".
"Iya. Tapi kemarin aku minta tolong kurir yang antar".
"Kamu tau kantorku dari mana?".
"Hahahahha Sha...Sha... Itu soal mudah. Kamu pernah bilang kamu kerja di gedung sebelah kedai kopi sebagai copywriter. Aku tinggal telepon ke manajemen gedung ini tanya ada berapa kantor agensi iklan yang mempekerjakan copywriter bernama Shareefa", jawab Tommy santai.
Ingin rasanya aku menepok jidat. Iya ya kenapa nggak kepikiran. Itu kan hal yang gampang sekali.
"Tapi kenapa kamu mengirimiku cokelat panas?".
"Aku kangen", jawab Tommy lugas.
Oh semesta dan seisinya. Benarkah yang aku dengar barusan? Telingaku sehat kan? Tommy merindukanku.
"Hey, Sha, kok kamu melamun? Ge er ya?", goda Tommy.
Aku rasa pipiku memerah saat ini. Ok Sha, back to earth now!
"Aku emang lagi sibuk belakangan ini. Ada deadline", jawabku sok cool.
Tommy senyum penuh arti.
"Cool amat jawabnya? Tapi kok pipinya semburat merah?".
Oh Tuhan. Terbuat dari apa sih makhluk ini? Kenapa dia begitu percaya diri. Kenapa dia begitu tampan.



--Scene 6-- Makan Malam

Padahal aku sudah bilang agar kami bertemu di restoran saja. Tapi Tommy bersikeras menjemputku di apartemenku. Sudah tiga tahun ini aku tinggal sendiri di apartemenku. Orangtuaku memilih menetap di Australia sejak kakakku melahirkan anak pertamanya dan tinggal di sana. Kakakku menikah dengan orang Australia dan kebetulan orangtuaku punya rumah di sana. Jadi, tinggal lah aku seorang diri di Jakarta.

Ting tong. Bel pintu berbunyi. Kuintip, Tommy. Sekali lagi aku menengok ke cermin melihat bagaimana penampilanku. Kubuka pintu.
"Hai", aku menyapa Tommy. Dia tidak tampan seperti biasanya. Tapi dia tampan sekali. Tommy mengenakan celana berbahan denim biru dan polo shirt warna biru muda. Dia tampak santai.
"Ini buat kamu", Tommy memberiku seikat bunga mawar merah.
Aku menerimanya sambil senyum dan mencium sekilas bunga dari tommy.
"Terima kasih. Kamu mau masuk dulu? Aku taruh dulu bunganya di vas ya".
"Nggak usah. Cuma sebentar kan? Aku tunggu di sini aja".
Secepat kilat kutaruh bunga di dalam vas dan melesat ke luar menemui Tommy.
"Udah. Yuk kita jalan sekarang?", ajakku.
"Yuk. Eh sebelum jalan, ada sesuatu yang mau aku sampein ke kamu", kata Tommy.
"Apa?", tanyaku.
"Kamu cantik sekali malam ini".
Tommy berbisik di telinga kananku. Konon menurut penelitian, berbisik di telinga kanan akan membuat sesuatu yang disampaikan lebih diingat dan bisa meluluhkan hati. Sesaat aku seperti melayang ke langit ketujuh. Padahal aku cuma mengenakan celana denim dan atasan kaus berwarna merah.
"Terima kasih", aku hanya sanggup berkata itu.

Tommy mengemudikan mobilnya menuju sebuah mal. Ternyata dia mengajakku makan malam di mal. Tapi memang dari awal dia memintaku berpakaian casual. Tommy memarkirkan mobilnya di basement. Sepanjang perjalanan, pembicaraan kami berjalan lancar mengalir begitu saja. Tommy menceritakan ibunya keturunan Jerman. Itu sebabnya Tommy memiliki hidung mancung dan wajah blasteran. Ternyata Ia menghabiskan masa kecil hingga remajanya di Jerman. Tommy pindah ke Indonesia saat SMA.

Tunggu dulu. Kukira Tommy akan mengajakku makan di salah satu restoran di mal. Tapi kenapa Ia mengajakku jalan ke luar mal.

"Aku mau ngajak kamu makan bakso di tempat favoritku. Nggak apa-apa kan kalo kamu makan di emperan jalan?".
"Nggak apa-apa. Aku suka bakso". Ternyata orang seperti Tommy, masih suka dan tidak malu makan di emperan.

(To be continued)

Comments

Popular Posts