Secangkir Cokelat Panas (Part 11)

--Scene 21-- Rahasia Tommy

Aku menjalani hari seperti biasa. Semakin terbiasa tanpa Tommy. Sesekali aku dan Rommy berbincang bila aku kebetulan bertemu di kedai kopi. Itu juga bila Rommy sedang berkunjung untuk memantau karyawannya.

Semakin aku mengenal Rommy, semakin aku tahu perbedaan dua saudara kembar itu. Untuk beberapa hal, mereka seperti langit dan bumi. Tapi bukankah kembar identik sekalipun seperti mereka memang tidak serupa. Pola pikir dan kebiasaan tidak bisa diseragamkan. Ada satu kebiasaan yang sama di antaranya. Kebiasaan meminum cokelat panas.

Suatu hari pernah aku bertanya pada Rommy, "Dalam beberapa kali perjumpaan kita, kulihat kamu minum cokelat panas. Suka apa hobi?".

"Kenapa? Ngingetin kamu sama Tommy ya?", Rommy balik bertanya sambil menyeringai.

"Iya. Siapa yang ngikutin siapa?".

"Panjang kisahnya Sha. Yang jelas, aku memang penyuka cokelat panas. Tommy dulu sukanya minum cappuccino".

"Oh ya? Apa yang membuat Tommy beralih jadi penggemar fanatik cokelat panas?".

Rommy tidak langsung menjawab. Ia tampak berpikir keras. Namun akhirnya Ia menjawab, "Dalam hati kecilnya, Tommy mengakui apapun yang kusuka itu keren. Termasuk kegemaranku minum cokelat panas. Tommy itu Rommy wannabe banget".

Kami berdua pun tertawa karena jawaban jahil Rommy.

Dua minggu berlalu.

Jam sudah menunjukkan pukul 20 WIB. Aku belum pulang. Lembur dalam rangka deadline. Cacing di perutku mulai meronta kelaparan. Kubuka laci meja kerja. Kosong. Rupanya aku lupa membeli persediaan cemilan untuk mengganjal lapar. Lia partnerku lembur malam ini sudah pulang sejam yang lalu karena tugasnya sudah selesai duluan dan Ia ada janji dengan pacarnya. Sudah tidak ada office boy yang bisa dimintai tolong membeli makanan. Akhirnya aku memutuskan segera menyelesaikan tugasku saja, baru setelah itu mulai berpikir mau makan apa di perjalanan pulang. Mau pesan online makanan juga tanggung. Aku menyugesti pikiranku tidak lapar dulu. Setidaknya sampai kerjaanku selesai.

Benar saja. Sepuluh menit selepas jam 8 malam, tugasku selesai. Secepat kilat aku meninggalkan mejaku setelah kurapihkan semuanya. Hapeku berdering saat aku melangkah masuk lift. Dari Rommy.

"Halo Rom".

"Oh, halo Sha. Mmmhh, Sha, kamu udah di rumah?".

"Belum Rom. Ini masih di kantor. Tapi udah mau pulang sih. Kenapa?".

"Aku, aku mau ketemu boleh?".

"Boleh aja sih. Tapi tumben amat. Ada apa? Kamu nggak kenapa-kenapa kan? Nada suara kamu kayak orang bingung".

"Nanti aku jelasin. Jadi kita ketemu di mana?".

"Gimana kalo di restoran yang nggak jauh dari kantorku? Aku udah laper banget dan restoran itu satu-satunya tempat di sekitar sini yang aku kenal buka sampe jam 10 malam".

"Ok deal". Rommy benar-benar memenuhi janjinya untuk tidak memberitahuku sedikitpun alasannya ingin bertemu.

Aku baru saja memesan makanan saat Rommy menghampiriku.

"Kamu mau pesan sekalian Rom?".

"Nggak Sha. Makasih. Aku udah makan".

"Ok. Jadi apa alasan kamu mau ketemu aku?".

"Aku, aku mau ngajak kamu ke Jerman".

"Ke Jerman? Dalam rangka apa?".

"Dari mana ya aku mulai ceritanya. Yang jelas, aku udah beli tiket untuk kamu".

"Hah? Ada apa sih? Kapan?".

"Besok".

"Kamu gila ya Rom? Besok?".

"Yeah maybe I'm crazy. But I don't see any choice in this case".

"What case? Tell me!".

"Tommy, Sha. Tommy. Tommy kritis". Rommy tiba-tiba menangis. Sementara aku? Kakiku serasa tidak memijak tanah. Tommy kritis? Seketika laparku hilang. Rommy tidak bercanda. Wajahnya kucel.

Rommy memegang tanganku seolah menguatkanku. Atau menguatkan dirinya sendiri.

Rommy menceritakan bahwa ini tahun ketiga Tommy menjalani hidupnya dengan kenyataan menderita leukemia. Leukemia Limfositik Kronis (LLK) lebih tepatnya. Aku baru tahu kalau LLK sering diderita orang dewasa. Sesuai namanya, leukemia Tommy termasuk yang kronis. Leukemia kronis memiliki perjalanan penyakit yang tidak begitu cepat sehingga memiliki harapan hidup yang lebih lama.

Selama ini Tommy mengkonsumsi obat-obatan untuk menyembuhkan penyakitnya. Bahkan beberapa bulan terakhir ini, Tommy rajin menjalani kemoterapi.

Aku menangis mendengar Rommy bercerita tentang penyakit Tommy. Makananku datang. Tapi aku sudah tak selera.

"Bagaimana dengan cangkok sumsum tulang belakang? Aku pernah mendengar cara itu bisa menyembuhkan kanker", tanyaku pada Rommy.

"Itu dia Sha. Setelah perjumpaan kita dua minggu lalu, aku ke jerman untuk menjalani rangkaian proses operasi pencangkokan. Aku yang akan mendonorkan sumsumku. Tapi kondisi Tommy drop. Orangtuaku menyuruhku ke Indonesia untuk menceritakan sejujurnya padamu kondisi Tommy sekalian menjemputmu. Tommy memanggil-manggil namamu beberapa hari lalu di tengah ketidaksadarannya. Kumohon maafkan Tommy yang pernah menyakitimu Sha. Yakinlah bahwa Ia juga terluka. Bahkan mungkin lebih terluka darimu. Ikutlah denganku besok ke Jerman".

Aku tidak bisa menjawab apa-apa. Pandanganku buram tertutup air mata. Aku hanya bisa mengangguk.

"Kamu ingat waktu kamu tanya siapa yang meniru siapa atas kegemaran minum cokelat panas? Aku nggak bisa langsung jawab. Karena sebenernya Tommy jadi penyuka cokelat panas, baru tiga tahun terakhir ini sejak didiagnosis leukemia. Tommy googling penyebab dan pengobatan penyakitnya. Tommy baru tau kalau cokelat mengandung zat flavonoid yang bisa menonaktifkan karsinogen atau zat pemicu kanker supaya tidak akan menumbuhkan sel-sel abnormal. Sel abnormal dicegah biar nggak membelah diri. Dengan begitu, sel kanker tidak akan menyebar ke berbagai jaringan dan organ lain di dalam tubuh penderita".

Penjelasan Rommy begitu panjang sementara aku hanya bisa menangkap cokelat, flavonoid, dan sel abnormal. Tapi setidaknya kini aku mengerti mengapa Tommy memutuskanku tiba-tiba. Ia tak ingin aku melihatnya kesakitan. Tapi bukankah siapa tahu dengan keberaaanku di sampingnya, bisa menyemangatinya? Seharusnya Tommy bisa lebih terbuka. Seharusnya dia mempercayaiku yang tidak akan berpaling apalagi saat Ia sakit. Kepalaku berdenyut. Terlalu banyak kata "seharusnya". Aku merasa lelah. Aku ingin terbangun keesokan harinya dan mengetahui semua ini mimpi. Mimpi buruk.

(To be Continued)







Comments

Popular Posts