Secangkir Cokelat Panas (Part 10)

--Scene 20-- Bertemu Rommy

Sebentar lagi pesawat yang kutumpangi take off. Tepat sesuai jadwal keberangkatan pesawat terakhir. Pukul 17.45 waktu Frankfurt.

Sejenak kupejamkan mata. Membayangkan indahnya Frankfurt. Ramahnya Kenan. Lezatnya makanan. Dan..Tommy. Sudahlah Sha. Cukup. Lupakan dia. Seolah ada dua Sha di pikiranku. Yang satu adalah Sha yang tegar dan realistis. Sementara yang satunya lagi Sha yang melankolis.

Sekuat apapun aku tampak dari luar, aku tetap Sha yang merindukan Tommy. Merindukan setiap inci kulitnya. Merindukan tatapan matanya yang memujaku. Merindukan kejutan-kejutannya. Merindukan aromanya. Mungkin aku sudah kecanduan dan salahku sendiri membiarkanku terhanyut.

Kenapa Tommy berjanji bertemu bila akhirnya tidak datang. Oh, dia bukan tidak datang. Dia datang. Dia sudah sempat memesan secangkir cokelat panas dan bahkan meninggalkan tulisan di selembar tissue. Ich vermisse dich. Apa artinya Ich vermisse dich kalau akhirnya dia pergi sebelum aku tiba. Itukah caranya mengungkapkan kerinduannya padaku? Dengan menyakitiku sekali lagi?

Aku menggelengkan kepalaku supaya pikiranku bersih dari Tommy. Tapi tak bisa.

Pikiranku kembali melayang ke saat aku menemukan selembar tissue itu. Tissue yang kini ada di tasku.

Saat itu, setelah kubaca tissue itu, pikiranku serasa kosong. Yang kuingat hanya ingin segera meninggalkan restoran Ebert's Suppenstube. Aku ingin berlari sejauh mungkin. Riuh tawa pengunjung menyadarkanku. Aku memandang cangkir berisi cokelat panas di depanku. Hanya kupandangi. Kubiarkan sampai dingin. Pelayan bertanya apa yang ingin kupesan. Aku hanya memesan sparkling water. Kuteguk habis sparkling water. Rasa soda seperti naik ke otakku. Sengaja agar aku bisa menjernihkan pikiranku.

Tidak berapa lama, kutekan nomor telepon Kenan. Aku minta dijemput. Dalam hitungan menit, Kenan tiba dan mengantarkanku kembali ke hotel dan ke bandara.

------

"Selamat pagi Sha. Bagaimana perjalananmu? Menyenangkan?", tanya Mas Prima, bosku.

"Hai Mas Prim, selamat pagi juga. I enjoyed it a lot".

"Nanti kita lunch bareng ya. Kamu utang banyak cerita ke saya".

"Siap", kataku sambil memberi tanda hormat ala tentara.

------

Mas Prima antusias sekali mendengarkan ceritaku yang tak henti-hentinya saat makan siang tak jauh dari kantor. Usai makan siang, saat menyusuri trotoar, tiba-tiba Mas Prima mengajakku mampir ke kedai kopi di sebelah gedung kantor. Ingin aku menolaknya tapi tak bisa.

Aku melangkah enggan memasuki kedai kopi penuh kenangan. Mas Prima memesan espresso. Sementara aku, seperti biasa. Cokelat panas.

Mas Prima asik bercerita sejarahnya menyukai espresso. Sambil mendengarkan, tak sengaja mataku melihat barista yang sedang sibuk membuat pesanan kami. Tommy?

Aku mengedipkan mataku berkali-kali. Iya itu Tommy. Mungkin karena merasa diperhatikan, sang barista mirip Tommy itu pun menatapku. Bukan. Bukan Tommy. Sorot matanya tidak seperti itu. Tapi mengapa wajahnya mirip Tommy. Bahkan posturnya pun sama. Selain sorot mata, potongan rambutnya pun berbeda. Yang ini agak gondrong bahkan terkesan sedikit berantakan. Lagipula, saat bertemu di Frankfurt, Tommy kurusan.

Setelah minumannya habis, Mas Prima mengajakku kembali ke kantor. Aku memintanya duluan dengan alasan minumanku belum habis.

Kuhampiri barista itu. Ia sedang merapihkan alat-alat membuat kopi.

"Hai, maaf bila saya mengganggu. Tapi boleh bicara sebentar?", tanyaku.

"Hai juga. Sure, why not? What can I do for you?", tanya barista. Suaranya tidak seperti Tommy.

"Sebenernya cuma mau bilang kalo kamu ngingetin saya sama seseorang. Boleh tau namamu?", aku memberanikan diri langsung bertanya.

Barista itu tersenyum. Ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Aku pun menyambut uluran tangannya.

"Rommy", barista itu menyebutkan namanya sambil tersenyum.

"Saya Sha".

"I know your name", jawab Rommy.

"Dari mana kamu tau?".

"Tommy. Dia cerita banyak tentangmu", jawab Rommy.

"Kalian berdua? Tunggu. Kalian kembar?".

"Yup kembar identik. Kamu pasti kaget ya?".

"Iya. Kenapa Tommy nggak pernah cerita? Dan kenapa baru sekarang saya lihat kamu di sini? Kenapa jadi barista di sini?", aku tidak bisa menyembunyikan penasaranku.

"Wow, easy girl! Satu per satu tanyanya. Kenapa saya baru kelihatan di sini? 1 barista saya sedang cuti. Yang 1 nya lagi sakit, dan yang 1 nya lagi sedang libur. Saya nggak mau ganggu yg lagi libur ditambah saya emang lagi pengen aja merasakan kembali jadi barista".

Ternyata kembaran Tommy ini adalah pemilik kedai kopi. Rommy bercerita bahwa sebelum membuka kedai ini, Ia adalah barista. Saat Tommy memutuskan melanjutkan SMA-nya di Indonesia, Rommy memilih tetap di Jerman.

Rommy pun kuliah di jerman. Setelah di wisuda, Rommy memutuskan menjelajahi Amerika. Berbagai pekerjaan pernah dicobanya. Namun meracik minuman lah yang paling menyenangkan hatinya. Ia merasa bebas. Hingga akhirnya Ia memutuskan mengikuti jejak Tommy untuk tinggal di Indonesia. Ia pun membuka kedai kopi ini.

Lima hari setelah membuka kedai kopi, Rommy pulang ke jerman dan mengajak kekasihnya keliling amerika backpacker-an. Jiwa petualangnya memang tak bisa dibendung tampaknya.

Itu sebabnya selama berhubungan dengan Tommy, aku tidak pernah melihat Rommy. Tapi kenapa Tommy menyembunyikan informasi soal Rommy dariku. Dan mengapa orangtua Rommy juga tidak pernah memberitahuku?

Kutanya lagi pada Rommy mengapa Tommy tidak pernah bercerita tentang saudara kembarnya. Sejenak Rommy terdiam. Lalu Ia tersenyum dan berkata, "mungkin Tommy takut kamu akan lebih menyukaiku". Senyum penuh arti tersungging di bibirnya.

(To be Continued)










Comments

Popular Posts