Secangkir Cokelat Panas (Part 14)

--Scene 24-- Pengakuan Tommy

Di pesawat aku duduk di sebelah Rommy. Sementara Tante Elza dan Om Beno di belakang kami. Rommy masih lebih banyak diam. Ia masih terpukul dengan kepergian kakak kembarnya. Kelahiran Tommy dan Rommy hanya berselang 5 menit. Rommy yang lahir lebih dulu. Seharusnya Rommy yang disebut kakak. Tapi tidak bagi keluarga Om Beno yang masih sangat "jawa". Tommy lah sang kakak karena lahir terakhir. Dalam pemahaman Jawa, bayi kembar yang lahir belakangan disebut kakak, karena Ia menyokong adiknya untuk lahir lebih dulu. Tugas kakak untuk mendukung adiknya. Mendahulukan adiknya.

Kulirik Rommy sekali lagi. Ia tertidur. Aku tidak punya teman bicara. Aku teringat kotak besi yang ada di tasku. Kuambil bersama kuncinya. Apakah sekarang saatnya? Kusimpan lagi kotak itu. Tanganku menyentuh kotak plastik di dalam tas. Kutarik kotak itu.

Ich vermisse dich. Aku kembali membaca tulisan tanganmu yang khas di secarik tissue. Air mataku menetes meninggalkan bekas di tissue yang kini selalu kubawa ke mana pun kumelangkah. Seperti saat ini.

Pramugari mengingatkanku untuk memasang seat belt. Refleks aku melipat hati-hati tissue yang entah berapa kali kutetesi dengan air mata. Kusimpan tissue yang mulai kumal itu ke dalam kotak plastik khusus. Kupasang seat belt dan pejamkan mata. Aku akan kembali ke Indonesia. Kembali ke realita. Manis dan pahit.

Baru lima jam perjalanan kami. Aku dilanda bosan. Aku teringat lagi kotak besi di tasku. Kali ini aku menguatkan diri membukanya. Kuputar kunci di lubangnya. Kotak terbuka. Kulihat ada tumpukan kertas yang dilipat rapih. Kupejamkan mata sesaat. Kumelihat wajah Tommy. Begitu tampan. Begitu bersih. Ia tersenyun padaku. Sorot matanya seolah mengijinkanku membaca kertas-kertas itu.

Kubuka lipatan kertas. Ada beberapa lembar. Kumulai membacanya dari tumpukan yang paling atas. Goresan tinta Tommy begitu khas.

15.08.2012
Dokter memvonisku mengidap Leukemia Limfositik Kronis (LLK). Jenis Leukemia yg katanya penderitanya memiliki harapan hidup lebih lama. Mudah-mudahan. Aku masih muda dan masih mencari cinta sejati. Kuberi tahu keluargaku. Semua sama terpukulnya denganku. Kucari tahu dari internet tentang penyakitku dan cara pengobatannya. Ah-ha! Cokelat. Ternyata cokelat mengandung flavonoid yang bisa melemahkan zat pemicu kanker. Ok mulai sekarang aku akan menjadi penggemar nomor satu cokelat panas.

10.10.12
Sekarang aku percaya dengan istilah bidadari turun dari kahyangan. Tadi pagi aku melihat sosok nyata bidadari di kedai kopi Rommy. Cantik. Itu kesan pertamanya. Tapi ada yang jauh lebih menarik perhatianku. Kedua bola matanya begitu indah. Memancarkan ketulusan hatinya. Aku menghindari kata sempurna karena tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi kenapa sosok perempuan bernama Sha itu begitu sempurna di mataku.

17.11.12
Sejak kemarin aku tak melihat Sha di kedai kopi. Seperti ada yang kurang rasanya. Rupanya aku mulai kecanduan. Kehadirannya tiap pagi di kedai kopi Rommy seperti semangat untukku memulai hari. Kalau kemarin kukirimi Sha cokelat panas menggunakan kurir, hari ini aku yang mengantarnya langsung ke kantor Sha. Aku suka melihat wajahnya yang tersipu saat kubilang kangen.

09.01.13
Lama aku berpikir untuk akhirnya menyatakan cintaku padanya. Pada perempuan pujaan hatiku. Perempuan yang berhasil memasuki ruang hatiku yang paling dalam yang sudah lama kusiapkan untuk seseorang yang spesial. Sebenarnya aku takut. Aku takut jika waktuku tak lama. Aku ingin sekali bisa membahagiakannya. Tapi penyakitku ini seperti bom waktu. Tapi aku begitu mencintainya. Kubulatkan tekad untuk memintanya jadi kekasihku sambil menikmati sunset yang selalu akan kubagi dengannya. Semoga.

25.02.13
Malam ini malam yang sangat berarti bagi Sha. Malam yang menjadi saksi penghargaan akan perjalanan karirnya di dunia periklanan. Aku janji menemaninya menghadiri malam penghargaan untuk insan periklanan yang bergengsi. Sha mendapat penghargaan atas karyanya. Tapi mendadak kondisiku drop. Aku mimisan. Maafkan aku Sha. Aku tidak memberimu kabar. Aku tidak tahu bagaimana cara memberitahumu tentang penyakitku. Aku tidak siap kau tinggalkan. Terpaksa aku berbohong padamu. Kubilang ada seorang teman yang kecelakaan dan aku menolongnya. Sementara hapeku tertinggal di rumah sehingga tidak bisa menghubungi dan kau hubungi. Maafkan aku Sha.

09.01.14
Happy 1st anniversary, Schatzie. Aku memberinya kejutan dengan mengajaknya ke pantai pagi buta menikmati sunrise. Aku suka melihatnya apa adanya. Dengan rambutnya yang belum tersisir, Sha tampak menggoda. Begitu seksi. Sambil menikmati cokelat panas dari tumbler yang kubawa, kusisipkan doa untuk perayaan hari jadi pertama kita. Semoga Tuhan memberiku mukjizat dengan memberiku kesembuhan. Aku masih ingin lebih lama lagi menikmati keindahan bidadari yang kudekap erat pagi tadi.

20.04.14
Aku ada janji dengan dokterku di Jerman untuk membicarakan lebih lanjut proses pengobatanku selain melalui obat-obatan yang kuminum. Aku konsultasi mengenai kemoterapi dan kemungkinan operasi pencangkokan tulang sumsum. Tak mungkin kuberitahu alasan sebenarnya aku ke Jerman pada Sha. Kukatakan saja ada urusan pekerjaan yang memaksaku terbang ke Jerman. Sekalian aku mengunjungi Mutti dan Bapak. Alu begitu merindukan mereka. Tak bosan kuceritakan ulang mengenai sosok Sha pada mereka. Dan untuk ke sekian kalinya kuminta pada mereka untuk merahasiakan sakitku dari Sha. Aku juga meminta mereka tidak memberi tahu Sha tentang kembaranku Rommy pemilik kedai kopi. Jujur aku sedikit iri pada Rommy. Menurutku, Rommy memiliki semacam daya pikat untuk setiap kaum hawa yang melihatnya. Aku khawatir Sha akan menyukainya bila kukenalkan. Kebetulan Rommy masih berkelana bersama kekasihnya di benua Amerika. Aku pun meminta Rommy untuk tidak muncul di depan Sha suatu hari bila kebetulan Rommy sedang meninjau kedai kopinya. Aku egois? Aku hanya bersikap protektif pada gadis yang kupuja.

27.04.14
Kubawakan Sha cetakan pertama novel klasik Wuthering Heights kesukaannya sebagai oleh-oleh. Kuselipkan juga 2 tiket konser Ariana Grande. Penyanyi favoritnya. Aku ingin menebus kebohonganku dengan membahagiakannya. Aku senang sekali melihat ekspresi bahagia Sha saat melihat buku itu.

28.04.14
Aku sudah siap menjemputnya dari kantor. Seharusnya aku menemaninya menonton konser Ariana Grande. Tapi lagi-lagi kondisiku drop. Mimisan lagi. Ditambah kelelahan perjalanan ke Jerman. Maafkan aku Sha.
Di luar dugaanku. Sha membatalkan menonton konser. Kali ini Ia yang mengejutkanku dengan muncul di depan pagarku. Ia panik karena suhu badanku yang tinggi. Sha memaksa membuatkanku sup ayam. Jujur kuakui Sha jago masak. Sup ayamnya enak. Terenak malah. Tapi dia melihatku mimisan. Semoga dia tidak curiga.

28.05.14
Aku merusak semuanya. Merusak makan malam yang harusnya makan malam tak terlupakan. Aku sudah menyiapkan sebuah cincin berlian yang kupesan seminggu lalu dari Cartier. Seharusnya sejak malam ini cincin itu melingkar manis di jari manis Sha. Aku hendak melamarnya. Tapi sepanjang perjalananku ke restoran, aku banyak berpikir. Aku memutuskan menyudahi hubunganku dengan Sha. Aku tak sampai hati menyeretnya semakin jauh ke dalam kepedihan yang nanti mungkin kutimbulakn bila penyakit ini mengalahkanku. Hatiku sakit membayangkannya. Aku tahu tindakanku jahat dengan memutuskan hubungan kami tiba-tiba. Tapi aku tak punya pilihan. Maafkan aku Schatzie. Ich liebe dich. Aku meremas kotak kecil berisi cincin di kantong celanaku saat Sha pergi meninggalkanku dengan penuh amarah.

18.06.14
Aku terkejut. Aku bertemu Sha di Frankfurt. Ini pertemuan pertama kami kami sejak aku memutuskannya sebulan lalu. Dia masih sama seperti. Masih begitu memesona. Aku yakin setiap pria yang berpapasan dengannya, 90 persen akan menengok memperhatikannya. Aku begitu merindukannya. Sudah sebulan ini aku menjalani kemoterapi di Frankfurt. Pasti Sha melihat wajahku yang pucat dan tubuhku yang mengurus. Rupanya kemoterapi tak cocok untukku. Masih ada satu lagi harapanku. Cangkok tulang sumsum. Dokter sedang mengetes kecocokanku dengan Rommy. Rommy bersedia menjadi donor untukku. Aku menuliskan nama restoran Ebert's Suppenstube sebagai tempat kami bertemu esok. Ini semua tak adil bagi Sha. Aku akan memberi tahu alasanku sebenarnya mengapa memutuskannya.

19.06.14
Bila tepat waktu, 5 menit lagi Sha akan tiba di restoran. Tiba-tiba hidungku mengeluarkan darah segar. Kali ini dalam volume yang lebih banyak dari biasanya. Buru-buru aku menulis Ich vermisse dich di selembar tissue untuk Sha. Mataku berkunang-kunang. Aku takut pingsan di restoran ini. Kutinggalkan restoran tanpa bertemu dengannya. Aku mengumpat penyakitku yang selalu membuat Sha kecewa dan sedih. Sekali lagi maafkan aku Sha.

21.06.14
Kutelepon Rommy. Dia di Jakarta. Kuminta Ia memunculkan dirinya di hadapan Sha. Aku memutuskan untuk sedikit memberi kebahagiaan pada Sha. Aku yakin Sha akan senang berkenalan dengan Rommy. Aku pun merasa bahwa penyakitku ini akan segera mengalahkanku. Aku ikhlas bila akhirnya Rommy dan Sha saling suka. Mengingat hubungan Rommy dan kekasihnya kandas 2 bulan lalu karena kekasihnya selingkuh. Jujur aku tidak bisa membayangkan Sha bahagia dengan pria lain. Tapi kalau pria lain itu adalah Rommy. Aku masih bisa tersenyum lega karena aku tahu kembaranku itu tak akan menyakiti hati perempuan. Terlebih perempuan yang kucintai.

22.06.14
Rommy meneleponku. Tadi Ia bertemu Sha untuk pertama kalinya. Rommy kini paham mengapa aku begitu mencintai Sha. Sosok perempuan yang beberapa kali kuceritakan padanya. Tapi Ia meyakinkanku untuk tidak khawatir. Ia berjanji akan menjaga Sha tapi tidak akan jatuh cinta padanya. Meski Rommy mengakui betapa besar daya tarik Sha.

25.08.14
Aku akan menjalani operasi 7 hari lagi. Rommy dinyatakan cocok sebagai donor tulang sumsum untukku. Aku tak sabar menanti hari itu. Hari penuh harapan. Harapanku untuk bisa hidup lebih lama usai operasi. Aku akan memperbaiki hubunganku dengan Sha. Aku akan memasangkan sendiri cincin yang urung kuberikan padanya waktu itu. Tapi seandainya aku tak berhasil melewati operasi itu, aku tetap akan memberikan cincin itu padanya. Bersama setumpuk kejujuranku. Kejujuran yang tak sempat kusampaikan padanya. Maafkan aku sekali lagi Sha. Aku begitu mencintaimu. Aku begitu merindukanmu. Merindukan kebersamaan kita. Aku bahagia mengenalmu. Aku bahagia menemukan cinta sejatiku.


Air mataku mengalir menganak sungai. Kucium dan kudekap kertas-kertas itu. Saat aku akan mengembalikan kertas yang sudah kulipat ke dalam kotak, mataku tertuju pada kain pink yang menjadi alas kotak. Ada yang menonjol di baliknya. Kubuka kain itu. Cincin. Cincin yang seharusnya disematkan Tommy di jariku. Kuambil cincin itu dan kupasang di jari manis kiriku. Kupandangi dan kucium cincin itu.

Sayang Tommy tak sempat menjalani operasinya. Kondisinya memburuk 4 hari menjelang operasi. Dokter menyatakan tak ada harapan lagi. Rommy pun diminta orangtuanya menjemputku dan membawaku ke Jerman. Tapi semuanya terlambat.

(To be Continued)

Comments

Popular Posts