Secangkir Cokelat Panas (Part 1)

Ich vermisse dich. Aku kembali membaca tulisan tanganmu yang khas di secarik tissue. Air mataku menetes meninggalkan bekas di tissue yang kini selalu kubawa ke mana pun kumelangkah. Seperti saat ini.

Pramugari mengingatkanku untuk memasang seat belt. Refleks aku melipat hati-hati tissue yang entah berapa kali kutetesi dengan air mata. Kusimpan tissue yang mulai kumal itu ke dalam kotak plastik khusus. Kupasang seat belt dan pejamkan mata. Aku akan kembali ke Indonesia. Kembali ke realita. Manis dan pahit.



--Scene 1-- Pertemuan

Ingatanku melayang ke saat pertama aku bertemu kamu. Tepat dua tahun yang lalu. Aku melihat ada kedai kopi baru buka tak jauh dari kantorku. Aku melihat jam yang melingkar di tangan kiriku. Masih jam setengah sembilan pagi. Ada waktu setengah jam untuk mampir sebentar ke kedai kopi itu.

Aku duduk di kursi dekat jendela. Tidak lama pesananku datang.
"Lho mas, saya kan pesan capuccino panas kenapa jadi cokelat panas?".
"Oh maaf mbak. Saya tarik lagi ya cokelat panasnya. Saya buatkan cappuccino panasnya". Ada rasa bersalah dari raut wajah pelayan itu.
"Nggak usah mas. Rupanya cappuccino mbak ini tertukar sama cokelat panas saya", kata seorang laki-laki yang menghampiri mejaku. Ia mengulurkan cangkir cappuccino panas pesananku sambil tersenyum.
"Terima kasih", jawabku sambil menyodorkan cokelat panasnya.
"Boleh kenalan? Namaku Tommy", kata laki-laki itu mengajak salaman.
"Shareefa. Panggil aja Sha", kataku.
"Boleh duduk di sini?", Tommy minta ijin duduk di kursi kosong di depanku.
"Oh iya silakan".
"Kamu kerja di dekat sini? Soalnya aku baru lihat kamu di kedai kopi ini", tanya Tommy sambil menyeruput cokelat panasnya.
"Di gedung sebelah. Lho emangnya kedai ini buka dari kapan sih?".
"Baru sembilan hari dan selama itu pula aku selalu mampir ke sini", jawab Tommy.
"Oh bukanya pas banget aku mulai cuti kalo gitu. Pantesan aku baru lihat kedai ini hari ini". Aku meneguk cappuccino ku.
"Wow ini cappuccino paling enak yang pernah aku cicipi", aku memandang kagum cangkirku.
"Kamu memang penggemar cappuccino ya?", tanya Tommy sambil tersenyum.
"Iya".



--Scene 2-- Pertemuan Kedua

Hari ini aku bisa masuk kerja jam 11 karena kemarin aku lembur dua jam. Sebagai kompensasinya, aku diizinkan masuk lebih lambat 2 jam. Tapi jam setengah sembilan aku sudah di kedai kopi ini. Seperti biasa, cappuccino hangat kegemaranku yang setia menemani. Tidak lama, Tommy datang. Ia tersenyum dan melambai padaku.
"Hai, boleh aku duduk di sini?", tanya Tommy.
"Iya silakan".
Tak lama, secangkir cokelat panas pun datang.
"Beberapa kali aku mampir ke kedai ini minggu lalu, kamu nggak ada". Aku kaget usai berkata karena tidak seperti biasanya aku berani. Aku termasuk pemalu. Namun kali ini entah keberanian dari mana yang membuatku berani mengungkapkan perasaanku.
"Kamu nyariin aku ya?", Tommy bertanya dengan wajah yang tersenyum jahil.
Ya ampun. Kenapa dia begitu tampan. Apa lagi dengan senyum jahilnya itu. Rasanya aku ingin menenggelamkan kepalaku ke dalam cappuccino ku.
"Nggak juga. Eh maksudku iya. Eh cuma nanya". Oh Tuhan ada apa denganku. Behave Sha. Tenang. Aku menenangkan diri sendiri.
"Hahahaha.. Iya aku percaya kamu cuma nanya. Nggak usah grogi gitu. Aku ke luar kota minggu lalu. Ke Surabaya".
Aku memilih menyeruput minumanku untuk menyembunyikan malu.
"Kamu kerja dekat sini ya?", tanyaku.
"Iya. Di seberang", jawab Tommy sambil menyesap cokelat panas.
"Oya, kamu kerja di bagian apa sih enak banget jam segini masih nangkring di sini?", tanya Tommy.
"Aku copywriter di agensi iklan. Kalo kamu?".
"Aku di perusahaan IT", Tommy membuka dompet dan menyodorkan kartu namanya.
Aku membacanya. Tommy Sudiro. Direktur utama. Glek.



--Scene 3-- Cokelat Panas

Kakiku seperti ada magnetnya dengan kedai kopi ini. Setiap pagi belum afdol kalau belum mampir ke sini. Alasannya apa lagi kalau bukan karena cappuccino-nya yang enak dan Tommy tentu saja. Ada rasa yang aneh setiap kali aku bertemu dengannya. Rasanya seperti ingin lagi, lagi dan lagi bertemu dengannya. Memandangi caranya menikmati cokelat panas.

"Boleh nanya nggak? Apa sih yang membuat kamu sangat menyukai cokelat panas? Biasanya, laki-laki kan sukanya kopi", tanyaku pada Tommy di perjumpaan kami yang kelima.
"Aku suka cokelat panas karena antioksidan. Bisa mencegah penyakit jantung juga. Kandungan flavonoid di dalamnya juga bisa mengurangi peradangan dan mencegah resistensi insulin untuk mencegah risiko diabetes tipe 2 dan kanker", dengan fasih Tommy menjelaskan betapa hebatnya cokelat panas.
"Kamu dulu pengen jadi dokter ya? Detil amat jelasinnya?".
"Hahahaha iya. Tapi cita-citaku berubah last minute ketika akan UMPTN. Sebelum lupa, menurut penelitian terbaru, cokelat bisa membantu mencegah demensia dengan meningkatkan aliran darah ke suatu bagian dari otak".
"Tapi kan cokelat manis. Bukannya malah bikin diabetes ya?, tanyaku.
"Nah itu dia. Aroma asli cokelat emang udah manis. Tapi sebenernya rasanya pahit. Makanya manusia menambahkan gula supaya manis. Padahal, khasiat cokelat paling baik terkandung di dark chocolate. Sama kayak kehidupan. Kita sering terbuai sama janji manis. Padahal kita lebih belajar banyak dari kenyataan yang kadang pahit", ada mimik serius di wajah Tommy.
"Aku pesenin kamu cokelat panas favoritku ya. Tapi kalo aku lebih suka yang pahit, buat kamu aku pesenin yang agak manis dikit", Tommy langsung memesan pada pelayan tanpa persetujuanku.

Tidak lama pelayan menyuguhkan secangkir cokelat panas. Aku hendak menyesap cokelatku saat Tommy mencegahku.
"Tunggu. Kamu hirup dulu aromanya".
Aku menurutinya.
"Sekarang gimana? Apa yang kamu rasain dari aromanya?", tanya Tommy.
"Hmm..aku mencium ketenangan. Hebat ya cokelat panas ini", aku terheran melihat cangkir di hadapanku.

(To be continued)

Comments

Popular Posts