Secangkir Cokelat Panas (Part 7)

--Scene 17-- Mencoba Melupakan

Sebulan sudah, sejak makan malam tak terlupakan itu. Tommy seperti hilang ditelan bumi. Aku pun tidak berusaha menghubunginya. Batinku berperang. Mungkinkah Tommy butuh waktu untuk menjernihkan kepalanya supaya menyadari kesalahannya memutuskan hubungan kami. Di sisi lain, seperti ada suara yang mencoba menyadarkanku untuk menerima kenyataan. Kenyataan bahwa aku tak usah mengharapkannya lagi.

Aku mencoba melupakan Tommy. Melupakan bahwa Ia pernah mengisi hari-hariku. Melupakan Ia pernah mencintaiku. Tapi semakin aku mencoba melupakannya, semakin aku teringat padanya.

Sampai akhirnya aku memutuskan untuk tidak melupakannya. Aku mengenangnya. Mengenangnya sebagai kenangan yang terindah yang kemungkinan tidak akan terulang. Mengenangnya sebagai guru. Guru yang mengajarkan manis dan pahitnya hidup.

Aku masih meminum cokelat panas lebih karena aku terlanjur menyukainya tapi aku sudah tidak pernah singgah di kedai kopi di samping gedung kantorku.

"Sha, bisa ke ruangan saya sebentar?", bosku membuyarkan lamunanku.

"Ok mas". Kami di kantor ini terbiasa memanggil atasan dengan sebutan mas atau mbak. Itu membuat tak ada jarak antara atasan dan bawahan. Suasana kerja meski hectic dengan tight deadline terasa ringan karena rasa kekeluargaan.

Aku mengetuk pintu ruangan Mas Prima, bosku. Mas Prima sosok pria flamboyan berpostur tinggi dengan tubuh atletis. Ia berusia 45 tahun dan sangat mencintai keluarganya. Anaknya 2 laki-laki dan perempuan yang disekolahkannya di Singapura. Ia tinggal di Bogor berdua saja dengan istrinya yang bekerja di sebuah bank swasta.

"Masuk", kata Mas Prima.
"Duduk Sha. Ada yang mau saya bicarakan".

Aku menarik kursi di depan meja Mas Prima dan duduk berhadapan.

"Kantor kita dapat undangan klien untuk mengunjungi headquarter-nya di Frankfurt 2 minggu lagi. Tapi kebetulan saya nggak bisa memenuhi undangan mereka karena udah ada janji mau mengunjungi anak-anak di Singapura. Nah saya pilih kamu yang mewakili saya ke Jerman. Is it ok?".

Ke Frankfurt 2 minggu lagi? Yes this is it. Aku memang butuh liburan. Tapi kenapa ke Jerman? Negara yang aku ingin kunjungi bersama Tommy yang belum sempat terealisasi. Terakhir aku ke Jerman saat aku SMP dan itu pun ke Berlin bersama orangtuaku. Bukan ke Frankfurt. Kota kelahiran Tommy. Tempat di mana Tommy menghabiskan masa kecil hingga remaja.

"I don't see any possibility to say no Mas", jawabku sambil tersenyum. Aku harus bisa mengalahkan kesedihanku. Bukankah hidup harus dijalani dan kenyataan pahit bukan untuk diratapi.

(To  be Continued)

Comments

Popular Posts