Secangkir Cokelat Panas (Part 8)


--Scene 18-- Menjelajahi Frankfurt

Pesawat yang kutumpangi mendarat halus di Flughafen Frankfurt am Main atau Bandara Frankfurt jam 6 pagi waktu setempat, yang letaknya sekitar 12 kilometer dari pusat kota. Begitu menginjakkan kaki di kota kelahiran penulis Jerman tersohor, Goethe, aku menghirup nafas dalam-dalam. Aku mengedarkan pandang di setiap sudut bandara penumpang tersibuk di dunia dan kedua tersibuk di Eropa untuk kargo ini.

Setelah mengambil koper, aku mulai mencari-cari orang yang ditugasi menjemputku. Tiba-tiba mataku tertuju pada pria paruh baya yang membawa kertas putih bertuliskan namaku. Kuhampiri dia.

"Sind Sie Frau Shareefa Indraguna?", tanya pria itu.

"Ja, das bin ich. Wie heißen Sie?", aku balik bertanya.

"Gott sei dank. Ich heiße Kenan Seckiner. I can speak English as well and you can call me Kenan".

"Hi Kenan. You can call me Sha then", aku mengulurkan tangan dan berjabat tangan dengannya.

Kenan adalah pria keturunan Turki yang lahir dan besar di Jerman. Ia memiliki 3 anak dan sudah bekerja di perusahaan klien biro iklan tempatku bekerja selama 10 tahun. Bukan waktu yang singkat tentu saja. Selama aku di Frankfurt, Kenan lah yang akan dengan setia menemani dan mengantarku ke mana pun aku mau, setelah acara resmi. Sebenarnya acara resmi perusahaan hanya 2 hari. Berarti aku punya sisa 3 hari untuk berjalan-jalan menikmati kota terbesar di negara bagian Hessen di Jerman dan kota terbesar kelima di Jerman ini.

Mobil yang kutumpangi berhenti di Frankfurter Hof. Frankfurter Hof adalah sebuah hotel yang dibangun selama 4 tahun dari tahun 1872 hingga 1876. Hotel ini termasuk hotel paling bergengsi di Frankfurt yang letaknya di kawasan Kaiserplatz dan merupakan bagian dari grup Steigenberger Hotels.

Penerbangan selama kurang lebih 16 jam cukup melelahkan bagiku. Kenan akan menjemputku jam 7 malam untuk menghadiri undangan makan malam klien. Aku memandang kagum hotel bergaya neo-gothic ini. Renovasi besar dilakukan tahun 1999, setelah lebih dari 100 tahun tidak direnovasi. Hotel ini memiliki 280 kamar dan 41 suite khusus.

Setelah beristirahat, mmmhh ok tidur sih lebih tepatnya, aku terbangun jam 5 sore. Aku bergegas mandi dan bersiap-siap. Kenan tiba tepat waktu. Makan malam berjalan lancar.

Keesokan harinya, aku diajak berkeliling perusahaan milik klien kami. Lokasinya di gedung Die Welle, yang dibangun mulai 1998 hingga 2003. Die Welle atau yang dalam bahasa Inggrisnya The Wave, merupakan kompleks gedung perkantoran di samping Opernplatz.

Lega rasanya sudah memenuhi rangkaian acara undangan. Aku tak sabar untuk mulai menjelajahi kota metropolis ini besok. Kenan menawariku mengantarkan ke mana saja aku ingin dan bersedia merekomendasikan tempat-tempat unik. Ok siapa takut kalau dapat tour guide gratis!

Hari ketiga. Usai sarapan, Kenan sudah menungguku di lobby.

"Guten Morgen Kenan. Would you mind to accompany me to Römer?".

"Guten Morgen Sha. I think Römer is a good choice. Let's go".

Aku langsung mengabadikan Römer begitu sampai, dengan kameraku. Römer adalah nama dari sebuah kompleks 9 rumah yang membentuk balai kota Frankfurt. Rumah-rumah ini dibeli dewan kota tahun 1405 dari keluarga pedagang kaya. Rumah yang di tengah menjadi balai kota yang terhubung dengan bangunan di sebelahnya. Kalau kita naik ke atas, ada yang namanya Kaisersaal atau Emperor's Hall,  tempat raja baru dilantik. Römer hancur sebagian ketika Perang Dunia II dan sudah dibangun kembali.

Sambil berkeliling, Kenan menjelaskan bahwa di Jerman ada dua kota bernama Frankfurt. Frankfurt Oder yang letaknya tak jauh dari Berlin dan Frankfurt am Main. Dinamakan Frankfurt Oder karena kotanya dilewati sungai Oder. Sementara Frankfurt am Main dibelah sungai Main. Tapi kalau orang menyebut Frankfurt saja, sudah jelas yang dimaksud Frankfurt am Main karena Frankfurt Oder kota kecil yang tidak terlalu terkenal.

Aku pun melanjutkan jalan-jalanku mengunjungi Katedral Santo Bartolomeus, Gereja Santo Paulus, Eschenheimer Turm, dan beberapa objek wisata lainnya. Beruntung ini bulan Juni. Saat yang tepat untuk melancong ke Eropa karena musim semi.

Saat malam tiba, aku ingat ada satu tempat yang ingin kudatangi. Alte Oper. Tommy pernah berjanji mengajakku menonton konser di Alte Oper. Dan di sinilah aku. Menghadap gedung yang dulunya gedung pertunjukan opera. Aku memandangi gedung yang dibangun tahun 1880 oleh arsitek Richard Lucae, yang pernah hancur saar Perang Dunia II. Ada rasa getir di hatiku. Seharusnya aku ke sini bersama Tommy menikmati konser. Tidak peduli siapa musisinya yang penting bersama Tommy. Mataku basah.

Hari keempat. Aku sengaja minta Kenan tidak usah menjemputku. Hari ini aku akan menjelajahi Frankfurt sendiri. Aku akan membiarkanku tersasar ke mana pun.

Frankfurt Hauptbahnhof atau Stasiun Utama Frankfurt menjadi tujuanku yang pertama hari ini. Kemudian aku mengunjungi Goethe House, tempat kelahiran Johann Wolfgang von Goethe tahun 1749 yang hancur ketika Perang Dunia II dan dibangun kembali 1947.

Setelah puas menyusuri Zeil, sebuah jalan pusat perbelanjaan di Frankfurt dan salah satu yang teramai di Jerman, aku memutuskan ke Brauchbachstraße. Brauchbachstraße terletak di distrik Altstadt, tak jauh dari kawasan sejarah kota. Di situ banyak galeri seni dan toko buku bekas.

Aku tengah memilih-milih buku saat aku melihatnya. Tommy. Benarkah apa yang kulihat? Ia memunggungiku namun aku hafal betul posturnya dan aroma parfumnya. "Tommy", aku refleks memanggilnya. Laki-laki yang hanya berjarak 2 meter di depanku pun menengok. Rasanya waktu berhenti. Iya benar dia Tommy.

Tommy membelalakkan matanya.
"Sha? Kamu di sini?"

"Iya ini aku. Sha. Aku, aku diundang klien ke sini. Ini hari keempatku. Kamu lagi apa di sini?.

Pertanyaan bodoh. Bukan hal yang aneh tentunya kalau Tommy di Frankfurt. Ini kampung halamannya.

"Aku sedang mengunjungi orangtuaku".

Nah benar kan? Tommy pulang kampung.

"Kamu sakit Tom? Wajahmu pucat dan agak kurus".

Tommy menggeleng dan tampak terburu-buru seraya melihat jam tangannya.

"Maaf Sha, aku ada urusan. Kamu sampai kapan di sini?"

"Besok hari terakhirku di sini Tom. Aku terbang dengan pesawat terakhir".

"Ok, treffen wir uns morgen? Di Freßgass".

Tommy meminta kertas dan pulpen pada penjaga toko. Ia menulis nama sebuah kafe dan jam 2 siang.

(To be Continued)





Terjemahan:
1. Sind Sie Frau Shareefa Indraguna? -> Apakah Anda Shareefa Indraguna?
2. Ja, das bin ich. Wie heißen Sie? -> ya itu saya. Siapa nama Anda?
3. Gott sei dank. Ich heiße Kenan Seckiner. -> Alhamdulillah/ puji Tuhan. Nama saya Kenan Seckiner.
4. Guten Morgen -> Selamat pagi
5. Treffen wir uns morgen? -> Kita bertemu besok?

Comments

Popular Posts