Suatu Malam di Halte Transjakarta



Malam semakin larut. Kulirik jam tangan silver yang melingkar di tangan kiriku. Jam sepuluh malam kurang 15 menit. Kalau biasanya jam segini jam yang pas untuk mulai meluruskan punggung di atas kasur empuk atau bahkan sudah pulas bermimpi, tidak bagi orang-orang yang masih menanti dengan sabar bus transjakarta di halte Dukuh Atas 2.

Detik berganti menit. Bus yang ditunggu belum datang. Bunyi decak kekesalan bersahutan. Sebagian menggerutu. Tak jelas apa yang digumamkan. Tapi aku yakin bahwa tidak sedikit yang memaki dalam diam. Transportasi massal yang konon diharapkan mengurangi jumlah kendaraan pribadi di ibu kota ini memang kerap memancing emosi karena tampaknya jumlah unit yg di koridor 4 lebih sedikit dibanding koridor 6. Entahlah. Kali ini aku sedang tidak ingin berpanjang-panjang mengenai transportasi. Ada yang jauh lebih menarik perhatianku saat ini.

Menunggu memang pekerjaan yang menjemukan. Tapi kadang aku menikmatinya. Seperti malam ini. Satu per satu kuamati orang-orang di sekitarku. Dimulai dari pria di sampingku kiriku. Kalau dari penampilannya, sepertinya ia berusia 30an. Dandanan rapi layaknya pegawai kantoran. Dengan kemeja lengan panjang biru muda yang digulung lengannya, celana panjang hitam, sepatu pantofel, ransel hitam di dekap di depan dada, rambut berpotongan trendy mengingatkanku pada sosok tom cruise di film Top Gun, dan wangi, mencuri perhatianku. Bukan apa-apa, bagiku seorang pria itu harus wangi. Kalau pun tidak wangi, ya minimal tidak berbau badan. Raut wajah pria ini tampak tenang. Ia memasang earphone. Mungkin itu sebabnya ia tampak tenang meski mengantre di halte yang sesak ini. Alunan musik pilihan biasanya berhasil menjaga mood tetap baik.

Kuedarkan lagi pandanganku. Kali ini mataku tertumbuk pada sosok pria lebih dari paruh baya bertubuh kurus kecil dengan pakaian batik coklat dan celana panjang berwarna senada yang sama lusuhnya. Pria tua ini membawa kantong kresek hitam entah apa isinya. Wajahnya penuh garis pertanda kerasnya hidup. Rambutnya yang berminyak bergelombang didominasi warna putih uban. Ia memakai sandal jepit hitam sebagai alas kaki. Aku bisa mendeskripsikannya karena ia berdiri di sebelah kanan perempuan yang ada di depanku. Sesekali pria tua itu berdecak. Wajahnya tampak gusar. Mungkin ada yang sedang menunggunya di rumah. Mungkin kresek hitam yang dibawanya berisi sesuatu yang hendak diberikannya untuk keluarga yang telah menunggu kedatangannya.

Tiba-tiba ada yang batuk di sebelah kananku. Kutengok dengan kesal karena ia tidak menutup mulutnya saat batuk. Ternyata seorang perempuan. Ia rupanya sadar aku terganggu dengan kelakuannya. Ia pun mencari-cari tissue di dalam tasnya untuk menutupi mulutnya. Sebenarnya perempuan di sebelahku ini cukup menarik. Ia memiliki tubuh idaman banyak perempuan termasuk diriku. Tinggi semampai dengan lekuk tubuh sempurna. Rambutnya yang lebat lurus hitam tanpa poni dibiarkan tergerai sebawah pundak. Ia mengenakan kaus berkerah warna baby pink dan celana jins biru tua. Penampilannya sporty dengan sneaker putih. Tangan kirinya mendekap erat tas kecil yang menggantung di pundaknya dan 3 buku tebal di depan dadanya. Ia pasti seorang mahasiswi. Hey ternyata mahasiswi ini bermata indah kecoklatan yang serasi dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Sesekali ia mengecek jam di ponselnya. Sepertinya ia pulang kemalaman dan orangtuanya di rumah sudah menanyakan mengapa ia belum sampai juga di rumah.

Kegiatanku mengamati orang di halte pun terusik dengan antrean di belakangku yang mulai saling dorong. Ternyata bus yang dinanti tiba. Tapi kan busnya masih menurunkan penumpang. Inilah yang membuatku miris. Kenapa orang Indonesia tidak bisa tenang dan sabar. Memang ada bedanya ya kalau saling dorong dengan berbaris tertib saat bus datang? Beruntung di halte ini tempat menurunkan dan menaikkan penumpang dipisah. Bisa dibayangkan kan kalau di halte yang tempat menurunkan dan menaikkan penumpangnya digabung? Penumpang yang akan naik sering tidak peduli dengan yang akan turun. Etika berkendaraan umum harusnya diajarkan di sekolah. Ok skip lagi.

Karena tidak kebagian kursi, aku berdiri di zona perempuan. Zona favoritku. Aku pernah punya pengalaman tidak menyenangkan di kendaraan umum. Aku tidak suka dilihat atas bawah oleh orang yang tidak kukenal terlebih lagi orang itu laki-laki. Siapa pun pasti risih ya kan? Apalagi kalau laki-laki yang tidak dikenal menempelkan dengan sengaja anggota tubuhnya. Ewww mengingatnya membuatku jijik dan kesal.

Bus mulai melaju membelah malam. Sebagian besar penumpang di zona perempuan ini mulai tertidur. Dari penampilannya, mereka adalah pegawai. Ada guratan lelah di wajah mereka. Inilah rutinitas yang harus mereka hadapi setiap hari. Meski lelah namun ada asa di sana. Tiap mereka pasti memiliki motivasi berbeda dalam menekuni pekerjaan. Tak peduli seberapa jauh jarak yang harus mereka tempuh.

Aku teringat pria tua tadi. Di manakah ia? Apakah ia mendapat kursi? Kuteliti wajah para penumpang di zona umum. Itu dia! Ternyata pria tua itu berdiri. Padahal di depannya duduk pria muda berwajah ala Tom Cruise tadi. Teganya ia membiarkan pria tua itu berdiri. Nilai Tom Cruise KW itu pun turun di mataku. Hey, ternyata mahasiswi tadi duduk di sebelah Tom Cruise KW. Mahasiswi itu berdiri memberikan kursinya pada pria tua.

Tak terasa sampailah bus di halte tujuanku. Ternyata pria tua itu juga turun di halte yang sama. Kuperhatikan langkahnya dari belakang. Ia berjalan tergesa-gesa. Di depan ada sebuah perempatan yang berdekatan dengan kali. Di pinggir kali itu ada gerobak yang biasa mangkal di sana. Gerobak itu milik manusia gerobak. Isinya suami istri dan 5 anak. Anaknya yang paling besar berusia sekitar 8 tahun dan si bungsu baru belajar jalan. Pria tua berjalan menuju gerobak. Aku tercekat saat melihat pria tua memberikan kresek hitam yang ternyata berisi 3 nasi bungkus kepada manusia gerobak itu. Setelah memberikan kresek hitam, pria tua itu pun pergi. Ternyata manusia gerobak ini yang membuat pria tua gusar saat menunggu bus. Rupanya ia khawatir manusia gerobak semakin kelaparan bila ia terlambat membawakan makanan.

Betapa sebuah pelajaran berharga yang kupetik malam ini. Bahwa penampilan luar bisa menipu. Hati yang tulus memang tidak terlihat. Namun hati yang tulus bisa dirasakan dengan perbuatan. Aku salah menilai malam ini. Tom Cruise KW yang memesona ternyata tida berbudi pekerti. Mahasiswi yang tidak sopan karena batuk sembarangan ternyata rela berdiri di bus demi seorang pria tua tak dikenal. Malah pria tua yang kuanggap lemah dan lusuh ternyata berhati mulia memberi makanan pada manusia gerobak.



Comments

Popular Posts