Sisi

Namaku Sisi. Setidaknya begitu orang memanggilku. Aku tidak pernah tahu nama asliku. Siapa orangtuaku. Dari mana mereka berasal. Yang aku tahu hanya bagaimana caranya bertahan hidup di rimba ibu kota bernama Jakarta.

Umurku kira-kira 25 tahun. Itu juga kata ibu asuhku. Entahlah. Aku tak peduli. Aku teringat kisah yang sering disampaikan Ibu Nur. Satu-satunya ibu yang kukenal yang dengan lapang dada mengasuhku. Suatu hari di bulan September tahun 1990 sekitar jam 6 pagi, seperti biasa Ibu Nur mau menyiram tanaman di halaman rumahnya. Rumah Bu Nur tipe 36 dengan halaman hanya satu meter persegi. Bu Nur tersandung di depan pintu rumahnya. Sambil meringis menahan sakit di pergelangan kaki yang terkilir, Bu Nur kaget melihat benda yang membuatnya tersandung. Bayi berkulit sawo matang menangis menjadi-jadi. Mungkin bayi itu sedang terlelap saat Bu Nur tanpa sengaja menyandungnya.

Bayi yang masih merah itu pun diangkat Bu Nur. Digendong diayun-ayun agar tangisnya mereda. Bu Nur mendekapnya dengan iba. Tak terasa air mata Bu Nur menetes di kain jarik coklat lusuh pembungkus bayi. Bu Nur melongok ke luar pagar. Barang kali orangtua si bayi masih tak jauh dari situ atau diam-diam menyaksikan yang terjadi. Tapi jalanan sepi. Bu Nur masuk ke dalam rumah sambil menggendong bayi itu.

Bu Nur meletakkan bayi di atas kasur. Ditelitinya tiap inchi tubuh mungil itu. Bayi itu perempuan. Bu Nur mengucapkan puji syukur karena anggota tubuh bayi itu lengkap. Sekali lagi air mata Bu Nur menetes. Ia memang ingin sekali punya anak. Suaminya meninggal dua tahun lalu karena sakit setelah menjalani bahtera rumah tangga bersama Bu Nur selama 15 tahun. Bu Nur hidup sendirian setelah suaminya meninggal karena selama pernikahan belum dikaruniai keturunan. Bu Nur berjanji akan merawat bayi malang itu bila tidak ada orang yang mengaku orangtuanya.

Bu Nur memandikan bayi itu. "Aku harus memberinya nama", gumam Bu Nur. "Sisi. Ya, Sisi. Aku akan menamainya Sisi", ujar Bu Nur. Kenapa harus Sisi? Manusia memiliki dua sisi. Hitam dan putih. Kedua sisi itu akan selalu mempengaruhi hidup manusia. Tinggal manusia itu sendiri yang memilih lebih menonjolkan sisi hitam atau putihnya. Bayi malang itu merupakan perlambang kedua sisi itu menurut Bu Nur. Apa yang dilakukan orangtuanya dengan meninggalkan bayinya di depan pintu rumah orang tak dikenal adalah sisi hitam dan putih. Dikatakan hitam karena jelas, tindakan orangtua seperti itu dinilai tidak bertanggung jawab. Namun bisa juga putih, bila hal itu membawa kebaikan bagi masa depan sang bayi daripada hidup bersama orangtuanya yang mungkin serba kekurangan dan mungkin bisa membahayakan sang bayi. Yang jelas, Bu Nur berharap bayi mungil bernama Sisi itu, kelak akan memenangkan sisi putihnya daripada sisi hitam.

Hari demi hari dijalani Bu Nur penuh suka cita bersama Sisi. Sisi baru berusia 18 tahun saat Bu Nur meninggal karena tabrak lari. Sejak itu Sisi seperti hilang arah. Ia sebatang kara di usia yang masih labil. Saat Bu Nur masih ada, Sisi tidak pernah merasakan kesusahan. Ia tak pernah diijinkan membantu Bu Nur berjualan kredit panci. Sisi bingung bagaimana caranya bertahan hidup sementara tabungan Bu Nur yang diwariskannya pada Sisi kian menipis.

Sisi bertemu Jono di pasar. Jono menawari Sisi pekerjaan mudah namun menghasilkan banyak uang. Sisi tergiur. Suatu malam, Sisi bertemu Jono di tempat yang mereka telah sepakati. Sebuah kafe remang-remang di ujung jalan dekat pasar. Ternyata Jono tak sendiri. Ia bersama seorang pria yang cocok jadi ayah Sisi. Pria itu diperkenalkan Jono sebagai Om Roni. Om Roni mengamati Sisi atas bawah. Sisi merasa risih. Sisi pun mengajak Jono ke sudut kafe bicara empat mata.
"Maksud kamu apa dengan mengajak Om Roni? Katamu mau mengajakku kerja", kata Sisi.
"Ya ini pekerjaan yang aku janjikan. Kamu manis Si. Kulitmu mulus meski sawo matang. Tubuhmu, wow.. Apalagi sih yang kamu khawatirkan?", jawab Jono tenang.
"Gila kamu ya? Kamu pikir aku mau menjajakan diriku untuk uang? Itu dosa Jon!", nada suara Sisi meninggi.
"Hey, kamu tau apa sih soal dosa? Buka mata kamu lebar-lebar Si. Orang yang korupsi di luar sana ada berapa banyak? Mereka tau itu dosa tapi tetap melakukannya. Kalo apes ya ketangkep. Tapi kalo nggak, hidup mereka enak. Mau apa aja ada. Trus kamu lihat juga itu cewe-cewe yang jadi pelacur. Mereka tau kok kalo itu dosa. Tapi mereka tetap menjalani profesi mereka. Kamu tau? Mereka bisa beli mobil, rumah, bahkan bisa investasi. Tas yang mereka tenteng bahkan seharga rumah Bu Nur", Jono berapi-api.
Sisi terdiam.

Sejak malam itu dunia Sisi berubah. Ia mengabaikan harapan mendiang Bu Nur akan nama yang diberikan untuknya. Harapan bahwa sisi putih akan mengalahkan sisi hitam. Sisi bahkan tidak tahu Ia kini sebenarnya ada di sisi mana. Baginya, hitam dan putih hanya karangan manusia untuk menakut-nakuti anak kecil. Bagi Sisi, sisi yang Ia jalani kini membuatnya bergelimang harta. Sisi mendefinisikan kebahagiaan dengan uang. Setelah Om Roni, Ada lima om lain yang singgah di hidup Sisi selama tujuh tahun ini. Sisi pun khatam mondar-mandir ke benua eropa dan amerika serta menjelajahi asia. Ia beruntung mendapatkan om-om yang kelas kakap.

Sisi menatap pigura foto usang. Dipandanginya lekat-lekat wajah Bu Nur yang sedang memangku Sisi kecil yang baru berusia lima tahun. Air mata Sisi menetes. Sisi memandang ruang sempit di sekelilingnya. Ya, Sisi kembali ke rumah Bu Nur. Ia pasrah dengan ejekan tetangga kanan-kiri. Sisi yang masih muda, masih 25 tahun, namun wajahnya seperti jauh di atas 25 tahun. Kulitnya menghitam. Tubuhnya kurus kering. Sisi sakit. Ia didiagnosa dokter mengidap AIDS. Sistem kekebalan tubuhnya rusak akibat infeksi HIV. Sisi tertular om yang ke-enam. Om Tedi.

Sisi tak pernah menyangka sisi hidup yang ia pilih, membawanya kembali ke rumah Bu Nur. Ke rumah yang melindunginya dari panas dan hujan saat Ia ditinggalkan orangtuanya. Ia pernah mencemooh rumah ini. Namun ke rumah inilah Ia kembali.

Comments

Popular Posts