Size S

"Sintaaaaa! Kamu pinjem baju mbak nggak bilang-bilang lagi ya?", teriakku dari dalam kamar.

"Apaan sih mbak, pake teriak-teriak segala kayak di hutan aja. Lagian kamar kita kan sebelahan. Nggak usah teriak juga kedengeran.", jawab Sinta dengan santai dari pintu kamarku.

"Trus kalo bukan kamu yang ambil, siapa? Nggak mungkin kan baju mbak jalan sendiri? Lagian di rumah ini yang size-nya S kan cuma kita berdua", aku masih ngotot kalo Sinta yang ambil dress kesayangan warna merah yang mau kupakai nanti malam. Roy mengajakku kencan.

"Ya udah periksa aja lemariku kalo nggak percaya", Sinta bersungut-sungut kembali ke kamarnya dan membanting pintu.

Aku mendengus kesal. Lelah mencari dress favorit. Sinta dua tahun lebih muda dariku. Dia masih duduk di kelas 3 SMA. Sementara aku semester IV di sebuah perguruan tinggi swasta ternama. Oya, namaku Santi. Papa dan mama sengaja menamai kami Santi dan Sinta. Seperti iklan losyen tahun 90-an yang memakai nama Santi dan Sinta sebagai modelnya yang membuat iklan itu terkenal. Tidak kreatif. Iya, aku menganggap orangtua kami tidak kreatif dalam membuat nama anaknya. Padahal papa dan mama sering mengunjungi banyak negara. Kenapa mereka tidak menamai aku Gretchen, Liza, atau Monica saja yang lebih terdengar modern. Ah tapi ya sudahlah. Selain soal nama, aku mengagumi orangtua kami yang meski sibuk bekerja, masih perhatian sama anak-anaknya yang cantik-cantik ini.

Kembali ke masalah raibnya dress-ku. Aku pun mencari di lemari mama. Siapa tahu Rika, pembantu kami, salah memasukkan pakaian ke lemari. Tapi kan mamaku size-nya M. Masa Rika tidak bisa membedakannya. Eh tapi antara S dan M kan bedanya hanya satu centimeter ya. Tapi Rika kan sudah hafal betul dress-ku itu.

Hasilnya nihil. Apa aku harus mencari di lemari Sinta? Tapi aku mempercayainya. Kalau Sinta bilang tidak berarti tidak.

Kalau papa lagi di rumah, Ia pasti akan bilang "pakai saja dress yang lain San, gitu aja kok heboh".

Ini bukan masalah heboh tidak heboh. Bagi laki-laki mungkin memilih pakaian adalah hal mudah. Tapi tidak bagi perempuan. Kami bisa lho membuka lemari dan berkata "aduh aku nggak punya baju", padahal tumpukan pakaian di lemari udah siap meletus saking penuhnya. Selain itu, aku terbiasa sudah membayangkan dari semalam akan pakai pakaian seperti apa, untuk kegiatan hari ini. Apalagi ini kencan pertama sama kakak kelas semester VI yang jadi idola se-antero kampus.

Hmm..ke mana lagi ya harus kucari dress merah bertali spaghetti-ku. Kamar Rika? Ah tapi mana mungkin. Rika bertubuh seksi yang size-nya L. Buat apa dia menyimpan dress size S. Lagi pula aku mempercayainya. Rika sudah bekerja di rumah ini tiga tahun dan jujur.

(Ting tong)
Bel pintu berbunyi. Roy datang. Aku akhirnya menyerah dengan kecewa memilih dress berwarna krem. Senyum Roy mengembang saat melihatku. Ia pun berbisik "kamu cantik sekali Santi. Cocok dengan dress-nya. Serasi dengan warna kulitmu". Bisikan tulus dan senyum manis Roy menghapus kecewaku.

***
Rika tersenyum optimistis. Sambil bercermin, Ia bergumam "aku pasti bisa!". Rika sedang menjalani diet mayo. "Aku kan pengen juga bertubuh langsing seperti mbak Santi dan mbak Sinta", kata Rika sambil memanyunkan wajahnya agar pipinya tampak tirus.

"Warna kulitku sama putihnya dengan kulit mbak Santi dan mbak Sinta. Siapa tau kalo aku kurus, mas Sardi sopirnya Bapak bisa tertarik padaku", Rika senyum-senyum membayangkan wajah mas Sardi yang manis.

Sementara itu, dari cermin, terpantul dress merah Santi. Rika menatap bayangan dress di cermin. "Maaf ya mbak Santi. Aku pinjam dulu dress-nya. Nggak akan kupakai kok. Hanya jadi penyemangatku supaya aku bisa cepet kurus. Secepatnya aku kembalikan. Janji.", Rika sekali lagi berjanji pada dirinya sendiri.





Comments

Popular Posts