Gravitasi

Sosok itu. Membuatku membeku sepuluh detik. Nafasku tercekat. Darahku seolah enggan mengalir. Aku butuh seseorang untuk membangunkanku dari kebekuan. Tiba-tiba sebuah tepukan di pundak kiri menyadarkanku. Tika menyelamatkanku. Tapi ada suara dalam hatiku yang mengatakan Tika pengganggu.

Kupalingkan lagi kepalaku mencari sosok itu. Ia hilang di antara kerumunan orang di mal. Sementara Tika masih terus menggandengku. Mengajakku ke sebuah restoran Vietnam. Seperti biasa, aku memesan Vietnamese Spring Roll dan Pho. Kalau biasanya aku memesan Nuoc Sam (teh herbal manis dingin) sebagai pelepas dahaga, kini aku memilih Nuoc Dang. Aku berharap Nuoc Dang (versi pahit Nuoc Sam) bisa menetralisasi manisnya kenangan yang pernah diciptakan sosok itu. Selain itu, pahitnya Nuoc Dang semoga bisa menyadarkanku atas kepahitan yang telah sosok itu timbulkan setelah beragam rasa manis Ia berikan.

Pesananku datang. Tika sibuk bercerita persiapan pernikahannya. Aku hanya menanggapinya sekedarnya. Entah kenapa nafsu makanku yang besar hilang seketika. Pho hanya kuaduk dan kucicipi sedikit. Sadar ceritanya tak kugubris, Tika bertanya, "haloooo Risa... Kamu di mana? Udah balik ke bumi belum?" Sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.

Aku terkesiap.
"Kamu tadi lihat Sammy nggak Tik?".
"Hah? Sammy? Di mana? Nggak tuh. Kalo sampe aku lihat, bakal aku samperin dia".
"Mau kamu apain?".
"Aku mau marahin dia. Seenak udelnya aja udah ninggalin sahabatku tanpa ba bi bu. Pake alasan kuliah lagi ke Australia, eh nggak taunya malah nikah di sana".

Seolah sadar dengan kalimatnya yang bisa membangkitkan memoriku, Tika menutup mulutnya dengan kedua tangannya sambil terbelalak.
"Maafin aku. Bukan maksudku membuka luka lama. Maaf ya Ris", pinta Tika sambil menggenggam tanganku.

Ingatanku ke setahun lalu. Saat di mana tunanganku memilih menuruti permintaan orangtuanya untuk menjalani pernikahan bisnis di Australia. Persis seperti yang dikatakan Tika. Sammy hanya mengirimiku e-mail panjang berisi penyesalannya, perasaannya padaku, dan keharusannya memenuhi titah orangtuanya yang tak bisa ditawar lagi dan memang tidak memberikannya pilihan lain selain harus. Tika menyebut Sammy pengecut. Tidak berani mempertahankan cinta kami. Bahkan Tika bersumpah serapah akan pilihan Sammy yang hanya berani menjelaskan semuanya melalui e-mail.

Setahun bukan waktu yang singkat. Bukan pula waktu yang lama untuk menata hatiku yang hancur luluh lantak tak bersisa. Di saat aku mulai bisa menerima kenyataan, Sammy muncul di hadapanku meski berjarak sekitar 100 meter. Kehadirannya membangkitkan sensitivitas kelima inderaku. Indera yang sebelumnya sempat mati rasa.

Tadi adalah sepuluh detik yang menyadarkanku. Sammy ternyata  masih menjadi gravitasi bagiku. Hatiku yang tercerai-berai menjadi serpihan, seolah kembali pada orbitnya mengitari sosok Sammy yang bagaikan matahari. Gaya tarik-menariknya begitu kuat kurasa. Aku benci mengakuinya. Mengakui Sammy gravitasiku meski sudah membuatku terpuruk dalam sudut ruang hampa nan gelap.

Sepuluh detik melihatnya membangkitkan amarah sekaligus kerinduan. Ingin kumaki sejadi-jadinya. Meluapkan emosi yang selama ini terperangkap dalam penjara hatiku. Tapi juga ingin kudekap erat sampai sesak hingga tak kan kulepaskan lagi agar Ia tak pergi lagi meninggalkanku.

"Ris, Risa, kamu baik-baik aja? Apa kamu mau pulang aja? Biar aku telepon Rido untuk nemenin aku ketemu wedding planner kami". Tika tampak begitu gusar. Mungkin dia khawatir aku akan kembali menumpahkan air mataku.

"Nggak Tik. Aku cuma nostalgia sama sakit hatiku. Sori ya bikin kamu khawatir. Makasih lho. Aku udah nggak apa-apa". Aku menjawab dengan senyum tersungging di bibir. Setidaknya sepuluh detik tadi mengingatkanku bahwa hingga detik ini Sammy masih gravitasiku. Aku tidak bisa menolak gravitasi. Bahkan siapa dan apa pun tidak ada yang bisa menolak gravitasi. Hanya tinggal menunggu sosok pengganti Sammy yang akan menjadi gravitasiku selanjutnya.




**Terinspirasi dari lagu Sara Bareilles - "Gravity"

Comments

Popular Posts