Dear Papa

Aku membaca pesan singkat dari sahabatku, Dira, di whatsapp-ku. Ia ingin bertemu dalam dua jam lagi di cafe kami biasa bertemu. Pasti ada yang tidak beres kalau Ia sudah meminta lekas bertemu.

Persahabatan kami sudah terjalin 20 tahun. Selama itu pula, aku mengenal pribadinya yang keras namun sebetulnya berhati cengeng. Mudah tersentuh. Kami berkenalan saat kelas 5 SD. Saat itu aku mewakili sekolahku dalam lomba cerdas cermat tingkat provinsi di balai kota. Aku melihat Dira saat kelompoknya bertanding melawan kelompokku. Dira begitu cerdas dan percaya diri. Tapi saat istirahat, Dira mendekatiku dan menawarkan bekal makan siangnya yang berlebih kepadaku. Bekal makan siangku tertinggal di rumah. Sejak itu kami berteman bahkan bersahabat. Atau bila ada istilah lain yang bisa menggambarkan kedekatan kami yang melampaui persaudaraan, itu lah kami.

Kulirik jam tanganku. Seperti biasa, aku tiba lebih cepat dari waktu yang disepakati. Aku memesan orange juice seperti biasa. Untuk Dira, kupesankan sekalian. Ice cappuccino. Juga seperti biasa.

Dira datang tergopoh-gopoh 10 menit kemudian. "Sori telat Sof", ujar Dira masih mengatur nafas sambil meneguk ice cappuccino-nya yang sudah tersaji di meja. "Tadi aku harus kelarin meeting dulu sama klien di kantor".

"Iya gapapa Dir. Udah biasa", jawabku sambil nyengir. Kuperhatikan Dira yang semakin menarik. Rambutnya tergerai se-punggung dengan curly sempurna berkat curling iron. Bola matanya yang bulat memancarkan kecerdasan. Kini Dira sudah menduduki posisi sebagai Marketing Manager di perusahaan multinasional terkemuka di ibu kota. Itu yang membuatnya semakin sibuk dan semakin tidak bisa tepat waktu bila janji bertemu denganku.

"Jadi gini Sof. Pacarku, Jeff, kemarin nanya apa aku punya rekomendasi psikolog. Adiknya Jeff, butuh bantuan psikolog. Orangtua mereka baru berpisah setahun lalu dan sejak itu, adik Jeff, Catherine, yang baru 15 tahun, berubah. Cath jadi pendiam dan kadang-kadang pemarah", jelas Dira.

"Aku rekomendasiin kamu Sof. Kamu kan psikolog klinis andal. Kamu juga selalu jadi konsultan pribadiku yang paling ok", kerling Dira.

"Iya. Psikolog andalmu khusus untuk kisah percintaanmu yang selalu ajaib", jawabku dan diiringi ledakan tawa Dira.

"Kamu sendiri gimana? Udah ada lagi yang nyantol di hatimu belum? Rico aja udah nikah 2 tahun lalu", ciri khas Dira. Berbicara terus terang. Rico adalah mantan kekasihku. Kami putus 3 tahun lalu. Sejak itu memang aku belum ingin menjalin hubungan serius dengan pria mana pun. Sempat ada beberapa laki-laki yang dekat denganku. Ada 5. Tapi kelimanya gagal memenuhi kriteriaku di tengah jalan. Banyak orang menyebut aku terlalu tinggi memasang standar. Tapi bukankah hak kita untuk memilih yang terbaik daripada menyesal kemudian? Mereka tidak mengerti.

Aku menggelengkan kepalaku. Rambutku yang lurus di bawah pundak pun ikut bergoyang ke kanan-kiri. "Belum Dir. Masih pada penjajakan", jawabku.

"Ooo ok deh. Setelah pesan main course, kamu utang cerita yaaa soal siapa yang lagi dekat sama kamu", mata dira sibuk menelusuri daftar menu. Sementara mata orientalku menatap kombinasi kerlip lampu kendaraan dan lalu lintas di bawah sana. Warna yang kontras dengan gelapnya malam.

Singkat cerita, aku membuatkan jadwal untuk Cath besok lusa. Pertemuan kami pun seperti biasa dihiasi topik ngalor ngidul yang tidak pernah bisa ditarik benang merahnya karena pasti benang itu kusut. Tidak jelas. Tapi bukankah begitu lah persahabatan? Ngobrol ngalor ngidul saja sudah semacam terapi. Menceriakan. Melepas penat.

***



Hari ini hari rabu. Tidak seperti biasanya tidak ada jadwal dengan pasien-pasienku. Aku tidak perlu bangun pagi dan bersiap ke klinikku di Jalan Brawijaya. Aku pun memilih bersantai di apartemenku. Usai mandi dan sarapan semangkuk sereal, aku melihat buku-buku di rak yang tersusun rapih. Kalau mengutip kalimat Dira, "Ruang kerja penuh buku dari non-fiksi sampai fiksi, tertata apik sesuai abjad, dan tak luput semuanya dari sampul plastik. Ini benar-benar representasi Sofia. Nggak perlu jadi sobat karib untuk langsung bisa nilai kamu perempuan cerdas berwawasan luas dan rapih". Aku tersenyum geli mengingat spontanitas Dira yang ditambah dengan ekspresinya. Matanya tampak kagum melihat koleksiku. Sembari berbicara, kedua tangannya merentang.

Aku mendekati rak buku. Kutarik sebuah buku. Mein Kampf karya Adolf Hitler sang Führer Jerman. Diam-diam aku mengagumi Hitler. Bagaimana tidak, Ia tidak berpostur ras arya yang khas dengan mata biru dan rambut pirang, namun bisa memimpin Jerman dan memerintahkan tentara Schutzstaffel-nya. Betapa suatu masa kegelapan dan kemunduran saat itu hingga jutaan nyawa yahudi dan non-arya berakhir di kamp konsentrasi.

Ada map yang terjatuh saat aku menarik buku Mein Kampf. Map krem. Tenggorokanku tercekat. Kupungut map itu. Segera kucari kursi terdekat yang bisa kucapai. Kutaruh hati-hati map itu di atas meja kerja bagai bayi yang masih merah dan rapuh seolah aku takut melukainya. Lima menit kupandangi map. Mengapa hari ini? Apakah ini saat yang tepat? Setelah puluhan tahun kusembuhkan luka.

Aku berdiri. Berjalan mondar-mandir ke ujung ruangan. Kutatap map itu. Ok aku siap. Kudekati meja. Map siap kuraih. Namun kakiku seperti menginjak rem. Tunggu dulu. Bagaimana kalau ternyata aku salah? Bagaimana kalau ternyata aku belum siap? Bagaimana kalau ternyata hatiku masih terluka? Berapa lama atau mungkin berapa puluh tahun lagi bisa kulalui waktu untuk menyembuhkan lukaku?

Aku pun memilih duduk kembali di kursi. Kuketuk-ketuk jari jemariku di atas meja broken white favoritku. Lalu kupelintir-pelintir ujung kaus oblong putihku. Kakiku mulai terasa dingin. Apa karena aku memakai celana pendek? Tidak. Ini pasti karena aku mulai masuk fase stres ringan. Semua memori tidak menyenangkan itu kembali.

Kutarik nafas 10 kali. Kumantapkan hati dan seraya berdoa, kutarik map. Kubuka. Isinya masih tetap sama dengan puluhan tahun lalu. Bercarik-carik kertas. Kuambil carik pertama, sementara sisanya kutaruh kembali di map di atas meja.

Sekali lagi aku menarik nafas. Kali ini juga masih 10 kali. Kubaca tulisan di carik kertas. Goresan tinta khas anak kecil. Waktu itu aku masih sekitar 10 tahun.


Dear Papa,

Hai Pa, apa kabar? Semoga baik-baik saja.
Kenalkan aku, Sofia. Anakmu.
Ini pertama kalinya aku nulis surat. Papa kangen nggak sama aku? Aku kangen. Aku pengen tau Papa kayak apa. Kata Mama, Papa ganteng. Tapi tiap aku minta foto Papa, Mama nggak pernah kasih.

Pa, pulang dong.

Salam sayang,
Sofia



Hatiku serasa ingin menjerit. Perutku seperti diaduk. Mataku menghangat. Ini surat pertamaku untuk Papa. Sosok yang tak pernah kukenal. Papa dan Mama berpisah saat aku berusia belum genap setahun. Tak pernah ada sosok Papa dalam memoriku. Haruskah kulanjutkan membaca suratku yang lain?

Tanganku bergerak sendiri seperti tanpa komando. Kuambil surat kedua.



Dear Papa,

Hai Pa, apa kabar? Semoga baik-baik saja. Aku lagi batuk pilek gara-gara kebanyakan minum es. Tapi sekarang udah mendingan kok.
Papa lagi apa? Kemarin aku bagi rapor. Lumayan Pa, aku ranking 2. Mama kasih aku hadiah buku bacaan. Aku suka sekali. Kira-kira Papa mau kasih aku apa?

Salam sayang,
Sofia



Aku ingat waktu itu. Aku menulis surat ini sambil sesekali memandangi buku bacaan baru, hadiah dari Mama. Judulnya Madita dan Lisbet karya Astrid Lindgren. Buku itu masih bertengger manis di rak. Kulanjutkan membaca surat ketiga.



Dear Papa,

Hai Pa, apa kabar? Semoga baik-baik saja.
Papa ingat nggak hari ini hari apa? Aku ulang tahun Pa. Yang ke-10. Aku senang tadi Mama undang semua teman-temanku ke rumah. Semua nyanyi lagu Happy Birthday. Terus aku tiup lilin dan potong kue. Papa tau nggak apa doaku waktu make a wish sebelum tiup lilin? Aku pengen ketemu Papa.

Salam sayang,
Sofia



Ulang tahun ke-10 adalah salah satu yang termeriah dalam hidupku. Sekaligus yang tak terlupakan. Lima tahun setelahnya, aku berhenti berharap Papa akan datang di pestaku sambil membawa teddy bear besar. Kusisihkan kertas ketiga. Kuambil kertas keempat.



Dear Papa,

Hai Pa, apa kabar? Semoga baik-baik saja.
Papa dapat undangan dari sekolah. Minggu depan perayaan Father's Day. Semua temanku akan bawa Papanya ke sekolah. Aku juga ingin Pa seperti mereka. Nanti di acara itu, aku baca puisi. Khusus untuk Papa. Datang ya Pa?

Salam sayang,
Sofia



Bulir-bulir air mata mulai membasahi pipiku. Bukankah anak perempuan biasanya dekat dengan ayahnya? Sosok Ayah merupakan idola anak perempuan. Super hero pertama mereka. Orang yang siap melakukan apa saja demi menjaga anak gadisnya. Orang yang akan berwajah masam bila anak gadisnya diapeli untuk pertama kalinya. Orang yang siap mencincang lelaki manapun yang berani menyakiti anak gadisnya. Orang yang akan terharu saat menggandeng anak perempuannya ke altar dan menyerahkannya ke sang pujaan hati saat pernikahan. Aku ingin punya pengalaman itu semua dengan Papa. Sayang tak pernah kukecap. Surat kelima kuraih.



Dear Papa,

Hai Pa, apa kabar? Semoga baik-baik saja.
Aku ingin menunjukkan pialaku pada Papa. Aku juara I lomba baca puisi se-provinsi. Andai Papa ada di sini.

Salam sayang,
Sofia



Kuedarkan pandang ke sudut ruangan. Di sana rupanya piala itu. Masih berkilau keemasan seperti dulu. Kuambil surat keenam.



Dear Papa,

Hai Pa, apa kabar? Semoga baik-baik saja.
Kenapa setiap aku minta alamat Papa, Mama nggak pernah kasih ya?
Tadi siang aku melihat Mama membaca surat-suratku untuk Papa. Mama menangis dan memintaku berhenti menulis. Emangnya salah ya pa?

Salam sayang,
Sofia



Dulu aku masih begitu naif. Setelah aku beranjak remaja baru aku mengerti arti tangisan Mama. Mama merasa gagal menjadi orangtua. Itu yang dikatakannya padaku. Setelah aku dewasa, baru aku paham larangan Mama waktu itu agar aku tak lagi menulis surat untuk Papa. Untuk apa melakukan hal yang sia-sia. Surat ketujuh menarik perhatianku.



Dear Papa,

Hai Pa, apa kabar? Semoga baik-baik saja.
Temanku, Sari, tadi dimarahi Papanya waktu ijin kerja kelompok. Emangnya kenapa ya Pa? Sedih sih lihat Sari dimarahin. Tapi aku sesekali pengen juga ngerasain dimarahin Papa. Tapi marahnya jangan lama-lama ya Pa.

Salam sayang,
Sofia



Setelah berkali-kali melihat Papanya Sari kerap marah tanpa alasan jelas, aku bersyukur tidak punya Papa. Itu yang kurasakan saat itu. Ada sedikit kelegaan terutama saat tahu Sari dipukuli Papanya. Bukan lega karena temanku disakiti oleh orangtuanya sendiri. Tapi lega karena tidak akan mengalami memar di tubuhku karena aku tak punya Papa.



Dear Papa,

Hai Pa, apa kabar? Semoga baik-baik saja.
Di sekolahku ada anak kelas VI yang kata temanku sih suka sama aku. Orangnya pintar deh Pa. Kalo kata temanku, dia juga ganteng. Tapi aku sih biasa aja. Lagian kan aku masih kelas IV. Kata Mama, anak kecil belum waktunya pacar-pacaran. Iya kan Pa?

Salam sayang,
Sofia



Aku tersenyum membaca suratku yang kedelapan. Membayangkan diriku saat itu yang berdarah tionghoa-manado, yang setiap hari rambutku yang lurus diikat jadi satu membentuk ekor kuda, dan berponi, masih begitu lugu. Aku teringat Jason kakak kelasku yang menyukaiku kala itu. Namanya juga anak SD, sukanya sebatas melihat dari jauh dan tersipu bila berdekatan.



Dear Papa,

Hai Pa, apa kabar? Semoga baik-baik saja.
Kata Mama, Papa juga merindukanku. Benar Pa? Kalau benar, boleh nggak Pa aku ketemu Papa. Sekali saja. Aku pengen ngerasain dipeluk Papa, dipangku Papa, dibacakan dongeng sebelum tidur, dan dapat ciuman selamat tidur dari Papa. Seperti yang biasa Mama lakukan setiap hari. I miss you Pa.

Salam sayang,
Sofia



Kali ini air mataku mengalir deras tak terbendung. Meninggalkan bulatan-bulatan kecil di kertas kesembilan yang kubaca. Sebegitu merindukan sosok pria itukah aku saat itu? Rindu yang tak pernah berbalas bahkan tertawarkan. Rindu yang akhirnya mengerak dan harus puas menjadi penghuni hatiku yang terdalam. Saking dalamnya hingga terkubur oleh miliaran memori. Rindu yang hanya bisa disalurkan melalui mimpi yang tak berujung. Oh betapa sederhananya keinginanku waktu kecil. Sederhana bagi yang memilikinya. Namun begitu mahal harganya yang hingga hari ini tak mampu kubeli meski aku mampu membeli apapun yang ditawarkan dunia padaku. Tapi tidak untuk yang satu itu.



Dear Papa,

Hai Pa, apa kabar? Semoga baik-baik saja.
Pa, maafkan aku yang lama sekali tak pernah menyuratimu lagi. Aku sibuk. Tapi yakinlah Pa. Aku selalu menyayangimu. Kata Mama, kalau kita menyayangi seseorang, jangan berharap lebih. Menyayangi harus tulus. Tapi lama-lama aku bosan juga Pa. Bosan setiap sore menunggu Papa yang akan muncul di depan pintu setelah aku mandi supaya kalau Papa menciumku, bauku harum. Atau mungkin Papa emang lagi sibuk ya sampai nggak punya waktu untukku?

Salam sayang,
Sofia



Surat kesepuluh. Surat terakhirku. Aku benar-benar menepati janjiku sendiri untuk tidak lagi menyuratinya apapun yang terjadi. Kubagi semua kisahku hanya dengan Mama dan sahabatku Dira. Perlahan aku melupakan atau setidaknya pura-pura lupa akan kerinduanku atas sosok Papa.

Aku pun beranjak dewasa. Aku mulai mengenal cinta lawan jenis saat aku SMA. Cinta monyet. Hingga aku bertemu James saat aku kuliah semester 2 jurusan psikologi di Perguruan Tinggi Negeri ternama. Aku begitu mencintainya. Hubungan kami berlangsung cukup lama. Bahkan terlama dari seluruh kisah percintaanku. 3 tahun menjalin hubungan dengannya hingga aku lulus S1 dengan predikat cum laude. Cinta yang manis itu berubah ketika James mulai menunjukkan gelagat tidak baik. James yang saat itu mengambil kuliah S2 kenotariatan, manamparku saat kami bertengkar. Aku ketakutan. Sambil terisak menahan sakit di pipi, tiba-tiba aku teringat Papa. Itu kali pertama sejak surat terakhirku, aku begitu merindukannya. Aku berharap dia datang dan menampar balik James yang telah menyakiti fisik dan hati bidadari kecilnya. Bidadari kecil? Ya. Bukankah bagi setiap Ayah, anak perempuan akan selalu menjadi gadis kecil atau bidadari kecil atau malaikat kecilnya sampai kapanpun. Aku ingin dibela. Aku ingin merasa dilindungi sebagai harta tak ternilai Papa. Tapi aku harus menjaga dan melindungi diriku sendiri pada kenyataannya.

Sejak itulah, aku memasang standar yang tinggi kalau mengutip kata Dira. Saking tingginya standar itu, laki-laki yang sedang dekat denganku harus menyiapkan tangga ekstra untuk bisa mencapainya. Kalau tangga itu tak mampu menyentuh ujung standarku sedikit saja, sudah dapat dipastikan Ia akan gugur.

Setelah aku memutuskan hubunganku dengan James, aku pergi ke Inggris meneruskan S2-ku di sana. Aku pulang ke tanah air dan merintis karirku sebagai psikolog klinis dan akhirnya memiliki klinikku sendiri. Mama? Ia menikah dengan koleganya yang Warga Negara Inggris dan menetap di London.

***


Alarmku berteriak riang sekali pagi ini. Kulihat, jam 5.30. Setelah meneguk segelas air putih yang ada di samping tempat tidurku, aku pun stretching 5 menit dan mandi. Pagi ini aku memilih sarapan mangga dan kiwi. Sambil menyiapkan salad sayur dan membuat sendiri saus vinaigrette, aku menggigiti bibirku. Ponselku berdering. Dira.

"Hai Dira. Udah sarapan? Aku lagi bikin bekal makan siangku nih", sapaku.

"Udah Sof. Wuih enak pasti masakan buatanmu. Aku kangen spinach quiche buatanmu. Nggak pernah ada yang bisa nandingin", celoteh Dira.

"Kamu pasti nelepon aku sepagi ini karena mau ngingetin aku jadwal konsultasi perdana adiknya Jeff, kan?"

"Hahahaha iyaaaa tapi aku yakin kamu ga akan lupa karena kamu well organized. Aku mau ngajak kamu makan malam di tempat biasa nanti. Bisa kan?".

***


Aku tiba di klinik jam setengah 10. Sifa, resepsionisku, menyapa hangat. Di ruang praktik, kembali aku termenung. Carikan-carikan surat masa kecilku menari di benak seolah mereka mengelilingiku bak badai tornado. Lalu perlahan putarannya melambat, membuatku bisa jelas melihat kata per kata dari tinta yang kugoreskan untuk Papa yang entah kini di mana berada dan tak pernah kukirim. Luka di hatiku belum sembuh. Namun setidaknya aku tahu bagaimana menyalurkannya agar tak sesak.

Tepat jam 10, pasien baruku, Catherine, datang diantar kakaknya, Jeff. Setelah berbincang sesaat dengan mereka, Jeff kupersilahkan menunggu di luar.

Kuamati gadis remaja blasteran Belanda-Batak itu. Tampak Ia gugup. Tak nyaman. Wajar karena ini pengalaman pertamanya berkonsultasi dengan psikolog. Itu pun pasti karena permintaan kakaknya.

"Cath, ummhh boleh kan ya saya panggil kamu Cath aja?",  aku memulai percakapan.

"Iya boleh", jawab Cath dingin.

"Sebagai gantinya, kamu boleh kok panggil saya Sof. Umur kita kan cuma beda setahun", aku mulai menggodanya. Ada senyum tipis di bibir Cath. Mata Cath melihat ke arah bawah. Sambil menggigiti bibirnya, Cath memainkan tissue yang di genggamannya.

Kami pun saling diam 5 menit. Tiba-tiba Cath memecah kesunyian.

"Kakakku membayar mahal hanya untuk ini ya? Duduk berhadap-hadapan tapi tak bersuara".

"Emangnya yang ada di bayangan kamu kayak apa?", tanyaku tak menggubris kesinisan Cath.

"Kalo yang biasa aku tonton di film-film sih, psikolog akan memulai dengan kalimat basa-basi seperti apa yang bisa saya bantu? atau silahkan keluarkan uneg-uneg anda".

"Jadi kamu berharap saya seperti itu?".

"Nggak tau deh".

"Maaf sebelumnya kalo aku nggak bisa memenuhi harapan kamu karena aku nggak akan seperti itu".

"Kamu aneh. Kamu kan psikolog. Masa diem aja", Cath mulai bersungut-sungut. Rambutnya yang panjangnya kira-kira sipunggung diikat ekor kuda. Poninya rapih berjajar di atas alis. Sekilas mengingatkanku akan penampilanku saat seusianya.

"Waktu di awal perkenalan tadi, emangnya saya ngenalin diri sebagai psikolog? Nggak kan? Saya ngijinin kamu panggil saya Sof karena saya ingin jadi teman kamu", jawabku tenang.

Dahi Cath berkerut.

"Kamu orang yang aneh", kata Cath.

"Emang salah jadi orang aneh?, tanyaku.

Hening. Cath tampak semakin bingung.

"Memangnya menurut kamu orang aneh seperti apa?", tanyaku lagi.

Cukup lama Cath terdiam. Lalu kalimat itu meluncur dari mulutnya. "Seperti aku".

"Kamu kenapa? Apa yang membuat kamu layak disebut aneh?"

"Aku nggak kayak teman-temanku. Mereka punya keluarga yang lengkap". Nada suara Cath bergetar. Aku tahu dia menahan tangis.

"Teman-temanmu keberatan dengan keluargamu yang nggak utuh?"

"Nggak sih. Cuma.. Cuma aku ngerasa berbeda. Aku marah. Kenapa aku tidak seberuntung mereka. Kenapa keluarga mereka harmonis. Kenapa kalo pulang les, temanku dijemput Papanya, sementara aku dijemput kakak. Kenapa yang masakin aku di rumah juga kakak, bukan Mama. Kenapa Papa dan Mama memutuskan berpisah. Mereka orangtua egois. Mereka nggak mikirin aku. Aku kangen mereka", air mata Cath tumpah.

"Jadi kamu merasa aneh ya karena itu? Kalo gitu, kamu benar tadi bilang saya aneh".

Isak tangis Cath mereda. Dia menatapku heran seolah menuntut penjelasan atas kalimatku barusan.

"Iya saya juga aneh. Sama kayak kamu. Orangtua saya berpisah. Papa entah di mana sekarang. Mama sudah menikah lagi dan tinggal di London. Kamu masih beruntung punya kakak yang menjemput kamu, masakin kamu. Saya? Nggak punya. Saya ngurus diri saya sendiri. Harusnya saya lebih aneh dari kamu ya?"

Cath menghapus air matanya dengan punggung tangannya. "Kamu nggak lagi berusaha menenangkan aku kan dengan ceritamu barusan?".

"Buat apa saya berbohong? Cuma untuk membuat seolah-olah yang seharusnya patut dikasihani dalam kasus sepertimu? Memangnya cuma kamu di dunia ini yang paling susah? Paling menderita? Kamu masih jauh lebih beruntung dari saya dan mungkin dari orang-orang di luar sana".

"Sekarang saya tanya kamu. Papamu di mana sekarang?", tanyaku.

"Dia di Turki. Sedang ikut ekspedisi".

"Dari mana kamu tahu dia di Turki?"

"Dia meneleponku 2 hari lalu".

"Kalau Mamamu? Di mana dia?".

"Mama tadi pagi meneleponku dari San Francisco. Dinas".

"Terus kamu masih merasa jadi orang aneh? Dengan masih menghubungimu, ingin tahu keadaanmu, itu artinya Papa dan Mamamu masih peduli denganmu. Hanya saja mereka sudah tidak bisa bersama".

Cath menunduk. Tampak Ia sedang berpikir keras menelaah kalimatku. "Mmmhhh aku boleh tanya?".

"Silahkan. Kamu bebas bertanya".

"Kamu tahu di mana Papamu?".

"Nggak. Aku nggak pernah tahu di mana dia berada. Apakah dia sehat. Apakah dia merindukanku. Aku nggak pernah tahu".

Cath terbelalak. "Seriously? Tapi dia pernah meneleponmu kan?".

Aku menggeleng.

Cath terdiam. "Maafkan aku. Apakah rasanya sakit?".

"Yup. Sakit sekali. Tapi apakah aku harus murung, menangis tiap hari meratapi nasib, atau uring-uringan setiap saat? Nope. Hidup terlalu indah untuk disia-siakan".

"Apa itu artinya kamu nggak pernah nangis?".

"Air mata adalah sahabatku dulu waktu aku masih belum bisa menerima kenyataan. Sampai sekarang, air mata juga masih sahabatku. Ia akan datang saat kuperlukan, karena sahabat tak melulu harus selalu ada bukan?".

"Jadi, sesekali aku boleh nangis?".

"Kamu boleh nangis kapanpun kamu mau karena menangis melegakan. Tapi jangan biarkan jadi kebiasaan".

"Apa yang kamu lakukan kalau kamu merindukan Papamu?", wajah Cath penasaran.

Kini aku yang terdiam beberapa detik.

"Dulu waktu mereka berpisah, aku masih terlalu kecil untuk bisa mengingat wajah Papa. Saat aku 10 tahun, aku mulai menyuratinya. Berlembar kertas surat yang tak pernah terkirim ke si penerima karena aku tak punya alamatnya. Itu caraku menuangkan kerinduanku. Hingga aku lelah dan rinduku memudar. Aku lelah merindukan seseorang yang bahkan tak kuingat wajahnya. Itulah kenapa kamu jauh lebih beruntung dariku. Kapanpun kau mau, kamu bisa menghubungi Papamu. Bahkan bisa bertemu".

Cath mendekati dan memelukku. Air matanya kembali tumpah.

"Kamu kenapa nangis lagi?".

"Aku kasihan sama kamu. Boleh ya sebentar aja aku nangis di pundakmu?", ujar Cath polos.

Aku pun memeluknya.

***


"Kamu hebat, Sof. Apa yang kamu bilang ke Cath di sesi konsultasi tadi?", Dira bertanya dan memasukkan Nachos ke mulutnya.

"Kenapa emangnya? Jeff bilang apa?". Aku bertanya balik sambil mencomot Nachos di piring Dira.

"Sepulangnya dari klinik kamu, Cath berubah kata Jeff".

"Dia udah nggak uring-uringan. Bahkan Cath udah bisa senyum. Jeff keheranan", tambah Dira.

"Aku cuma berusaha jadi temannya. Itu aja. Sama seperti kamu yang selalu jadi temanku di apapun kondisiku", aku tersenyum pada Dira.

"Hahahahaha...dan aku beruntung punya teman yang hebat kayak kamu, Sof".

"Pokoknya nanti setelah kelar melahap main course, kamu harus cerita yaaa", tuntut Dira.

"Iya, iya, Dir. Aku laper nih sekarang. Nggak bisa cerita".

Dalam hati aku tersenyum. Lega bahwa Cath sudah berubah. Lega bahwa semalam aku sudah menangis lagi berkat carikan-carikan surat yang tak pernah terkirim untuk Papa. Mungkin aku tak akan menjadi seperti diriku saat ini dan bahkan bisa jadi aku tak pernah memiliki teman seperti Dira serta tak akan bisa berbagi kisah dengan Cath, seandainya Papa tidak pergi.

-END-
















Comments

Popular Posts