Pangeran Hujan Dan Putri Awan

Hujan mulai turun perlahan, seolah sedang mencurahkan isi hati pada bumi. Perlahan namun pasti, rintiknya menderu dan menderas disertai hembusan angin. Pasti kali ini beban yang dirasa sang hujan begitu berat hingga menguras emosinya membuat bulir-bulir air yang turun menghunus bumi bagai hempasan pisau ahli masak yang sedang mencincang daging. Lamunanku akan hujan terusik pelayan cafe yang menanyakan apakah aku sudah siap memesan. Aku minta waktu lima menit lagi. Aku tak rela mengalihkan perhatianku dari hujan. Pamela, pelayan mungil bertubuh sintal, berlalu sambil menyungging senyum tipis. Tanda paham akan keinginanku sendiri. Diam menikmati rinai hujan. Tak lama melangkah, Pamela membalikkan badannya.
"Just tell me when you're ready to order, or let me guess..full english breakfast as usual, right?"

Aku menjawab dengan anggukan sambil tersenyum.

"I knew it!", Pamela berseru sambil menjentikkan jari tengah dan jempolnya ke udara dengan wajah sumringah seperti orang habis menang lotere.

Pamela pun kembali menghilang di balik meja bar. Rambut pirangnya yg keriting kecil-kecil sepunggung, dikuncir ekor kuda dan berayun ke kanan dan kiri, mengikuti ayunan langkahnya yang centil. Tangan kirinya memainkan ujung celemeknya yang menghiasi seragam terusan berwarna peach di atas lulut.

Buku menu masih terlipat rapih di depanku. Menunggu belaian jariku menelusuri daftar makanan yang tertera. Aku sudah tahu apa yang akan kupesan tanpa harus membuka daftar menu. Bahkan mungkin pelayan tadi pun bisa saja langsung mengantar pesananku tanpa bertanya. Ia hanya bersopan santun melaksanakan tugasnya. Aku sudah menjadi pelanggan di cafe ini sejak pertama kali aku menjejakkan kakiku di kota hujannya Inggris yang sangat dibanggakan mancunian ini tiga tahun yang lalu. Dan selama itu pula, pesananku tidak pernah berubah.

Mataku masih menatap ke arah luar jendela. Duduk di samping jendela adalah favoritku. Apa lagi kalau bukan untuk bisa memandangi hujan. Kulirik jam digital yang melingkar di tangan kiriku. Jam 8 lewat 15 menit. Masih ada banyak waktu untuk menikmati hujan dan sarapan sebelum aku berangkat kerja. Beruntung jam kerja di sini jam 9.30 setiap pagi. Ditambah dengan tidak adanya kemacetan membuat jarak tak jauh.

Aku lupa sejak kapan menyukai hujan. Atau mungkin lebih tepat bila disebut jatuh cinta. Tergila-gila. Mungkin sejak kecil. Atau bahkan sejak Tuhan menciptakanku. Entahlah. Yang aku tahu, aku merasa begitu hidup saat hujan. Ide-ide mengalir deras saat melihat tetesan kebahagiaan menghujam bumi. Kalau tidak ingat harus ke kantor, aku rela menari bersama hujan.

Untuk kedua kalinya, Pamela mendekatiku. Wajahnya mengguratkan kebosanan. Bosan menungguku menikmati hujan.

"So, is it okay if I serve your order now?".

Aku tertawa. "Yes, please".

Pamela bersemangat dan melesat secepat kilat ke meja bar. Ia meneriaki juru masak "One Full English and an orange juice".

Lima menit kemudian, pesananku tiba. Pamela mengerlingkan matanya sebelah sambil berkata, "You know that I can't stand any longer to wait for you to order. I like seeing you enjoy your food. It seems like you fall in love with someone you have never met for years. Customer's satisfaction is our happiness".

"Oh yeah, Pam. I never find Full English as good as in this place. This is the best", ujarku seraya mengecup ujung-ujung jari yang kutelangkupkan pertanda makanan ini enak.

Setelah Pamela menjauh, aku pun menikmati sarapanku. Orang lain mungkin menganggapku aneh. Setiap hari selama tiga tahun ini selalu memesan menu sarapan yang sama. Entah kenapa aku begitu menyukai makanan tradisional ini. Padahal rangkaian Full English Breakfast seharga £8,5 di hadapanku ini ya begitu-begitu saja. Tidak ada yang istimewa. Tapi aku menyukainya. Seperti ada kerinduan yang memuncak saat aku menyantapnya. Benar kata Pamela. Mungkin aku sudah gila. Tapi hey, tidak ada orang gila yang mengakui dirinya gila. Berarti aku masih waras kalau berpikir aku sudah gila.

Pada umumnya, sarapan lengkap ala Inggris ini mengkombinasikan beberapa jenis makanan yang digoreng. Bacon, telur, sosis, jamur, kacang, hash browns, tomat dan black pudding. Full English Breakfast dimasak dengan cara tradisional yang dimakan pada saat sarapan. Tapi seiring berjalannya waktu, tren berubah. Orang bisa menjumpai Full English Breakfast kapan pun. Termasuk di sini, di Gorilla, restoran favoritku yang terletak di 54-56 Whitworth Street.

Pamela pernah bilang kalau aku adalah tipe pria setia. Buktinya, sama menu sarapan saja setia. Apa lagi dengan pasangan. Aku sempat tersedak saat mendengar Pamela mengatakannya. Hmm, pasangan...

Ok, skip dulu pembahasan soal pasangan. Kini saatnya aku mengejar bus yang mengantarku ke kantor. Hujan sudah reda. Hanya meninggalkan rintikan yang kuartikan sebagai kesedihan sementara dari hujan yang akan berpisah dengan bumi. Di sela hujan lamat-lamar kudengar bisikan hujan yang menyampaikan kerinduannya pada bumi dan berjanji akan menemuinya kembali esok, esok, dan esoknya lagi. Begitu seterusnya.

Tidak ada yang spesial di kantor hari ini. Hanya ada satu rapat dengan klien. Sebagai creative director di sebuah perusahaan advertising ternama, menuntutku untuk mampu menggariskan konsep isi pesan dan strategi penyampaiannya. Simple yet difficult. But nothing's impossible in this life.

Setiap hari aku pulang kerja pukul 17.30. Tapi karena ini jumat, para karyawan pulang satu jam lebih awal. John dan Mike mengajakku hangout di Revolucion De Cuba. Salah satu bar tersibuk di kota ini.

Aku memesan Peroni Nastro ukuran 330ml malam ini. Sementara John dan Mike memilih Vedett Extra Blonde dan Modelo Especial. John berasal dari Irlandia. Sementara Mike dari Florida, Amerika Serikat. Aku? Seorang tenaga kerja Indonesia tulen tanpa blasteran. Hanya namaku saja yang tidak mengesankan Indonesia. Anthony. Lengkap lah trio gado-gado berbincang dengan dialek masing-masing.

Sambil mengunyah nachos, John curhat soal kekasih barunya yang baru dipacarinya seminggu. Seorang balerina bernama Alexa. Namun John mulai bosan. Ah apapun menjadi cepat membosankan bagi John. Herannya, Ia tak bosan dengan kami. Atau terpaksa karena rekan kerja? Hahaha.. Aku tak peduli.

Mike sang playboy antikomitmen pun serasa mendapat angin segar. Ia begitu antusias menyimak cerita John yang ujung-ujungnya mengomporinya untuk segera memutuskan Alexa. "Hey man, life is too beautiful. You can see me for instance. I'm single. I don't believe in commitment. Today I can be with Madelaine and tomorrow with Susie. Girls are like clothes. If you like it, you can wear it every day until you get bored. But if you don't like it, you can put it in waste bin. It's as simple as that. Why do we have to be engaged with a relationship that we know it will be bored? Just look for another girl, dude. Look at that girl in pink mini skirt. She's looking at you. Wow wow wow, now she's smiling at you. It's a sign", orasinya berapi-api. Cocok jadi juru kampanye. Kini aku semakin yakin bila nanti mencalonkan diri jadi presiden, aku akan memilih Mike sebagai jurkam.

John yang labil mulai termakan bujuk rayu Mike. John pun beringsut mendekati perempuan berambut merah sebahu yang sedang duduk sendiri menikmat koktail Damson in Distress.

Tinggal lah aku berdua Mike. Kami mengamati John yang tampak canggung mendekati perempuan ber-rok mini pink itu. Tapi dengan keluwesan sang hawa, John perlahan rileks. Bahkan akhirnya John berhasil membuat perempuan itu tertawa. Suatu prestasi pikirku. Sungguh luar biasa persuasi Mike dan pengaruh alkohol yang kombinasinya mampu mengubah John yang pemalu dan labil jadi sosok pemberani. Aku pun tertawa sambil menggelengkan kepala. Mike menyikut tulang rusuk kiriku.

"Look at John! He's a true man right now, huh?", Mike begitu jumawa.

"Yup. You're the master!", jawabku sambil mengacungkan botol minumanku ke udara sambil tangan kiriku toss dengan Mike sambil diiringi cengiran kudanya.

"So, we've known each other for three years. But I never see you with any girl", pancing Mike.

"Hahahaha..do I have to tell you about who's the girl?".

"Hahahahha..no you don't have to, man. But if you need a favor from the expert, you have my number. But I bet you can fix every single obstacle in love life. I can see it in your eyes. Yours are like eagle. Sharp as a knife. Those can make girls fall in love only by looking at your eyes. But unfortunately, somehow I feel a deep sadness in your eyes", Mike mulai melancarkan aksi sok tahu.

"And now look at you. I don't know that I have a sidekick friend. Anyway, I think that long blonde hair girl in black tank top is looking at you", ujarku.

"Where? Owh, that lovely one. Ok, hunny bunny, your knight in shining armor is about to come", kata Mike mantap melangkah menuju calon bidadari semalamnya.

Aku pun menggeleng-gelengkan kepala. Mike akan tetap menjadi Mike sang pemburu yang akan mengejar buruannya sampai dapat. Aku berhasil mengalihkan perhatian Mike dari pertanyaannya padaku.

Tinggal aku sendiri di meja bar. Kuamati bartender yang sedang beraksi meracik minuman. Begitu telun sambil sesekali berbincang dengan pelanggan.

"A deep sadness", aku mengulang kata-kata Mike barusan dalam hati. Sayangnya penglihatan Mike benar. Sekali lagi aku menggelengkan kepalaku. Kureguk lagi isi botol. Di dalam diriku merasakan kesedihan yang tal bisa kujelaskan apa penyebabnya. Kata orang, mungkin karena aku dibesarkan di panti asuhan membuat alam bawah sadarku terus memancarkan kesedihan. Kesedihan akan ketidaktahuanku akan asal usulku. Tapi aku selalu membantah anggapan itu. Aku tidak tertarik mencari tahu asal usulku. Sungguh. Aku hanya ingin tahu dari mana sumber kesedihanku. Rasanya seperti selalu merindukan sesuatu atau seseorang. Tak jelas. Untuk urusan perempuan, ada lagi yang menarik. Aku normal. Tidak suka sesama lelaki. Aku suka melihat keindahan kaum hawa. Tapi hingga saat ini tidak ada hasratku untuk memacari satu pun perempuan yang kukenal. Rasanya hatiku seperti sudah menjadi milik sesorang tapi entah siapa. Tentu saja aku tak pernah menceritakan ini semua pada siapa pun. Apa lagi alasannya, kalau tidak mau dicap aneh. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan predikat aneh. Aneh itu berbeda. Berbeda berarti unik. Tapi aku tak mau membebani pikiranku dengan tatapan prihatin atau kalimat-kalimat penuh nasihat orang lain bila mengetahui "keanehanku". Biarkan ini menjadi rahasiaku yang mungkin kelak akan kubagi pada orang yang tepat. Kapan? Biar waktu yang menjawab.

Waktu seperti bergerak lamban. Masih jam 10 malam. "Hai, di sini kosong?". Suara perempuan. Kutengokkan kepalaku ke arah suara. Seorang perempuan berponi dan berambut ikal sepunggung berwarna ombre ungu menatapku lekat-lekat. Ia mengenakan kaus v-neck rendah putih yang membuat bra merah darahnya membayang. Kakinya yang jenjang sangat cocok dengan rok mini berbahan kulit berwarna hitam. Kakinya dibungkus boots hitam berhak tinggi.

"Iya,kosong".

"Boleh bergabung?", tanya perempuan itu. Belum sempat kujawab, Ia sudah menarik kursi dan duduk di sebelahku.

"Ok, itu tadi kuanggap bukan pertanyaan", kataku disambut senyuman perempuan ini. Giginya putih rapih seperti model iklan pasta gigi.

"Kamu sering ke sini ya? Beberapa kali sepertinya aku melihatmu", perempuan ini begitu tenang sambil memanggil bartender. "Hey George, Jamaican Me Crazy satu!".

"Kamu punya korek?", tanya perempuan ini. Ia mengeluarkan sebatang rokok dan menaruhnya di antara dua bibir merah marunnya.

Kukeluarkan korek api dari kantong celana dan menyodorkan padanya. Saat hisapan pertama, Ia memperkenalkan dirinya. "Oh iya, aku Bella. Dan kau?", tanyanya sambil mengulurkan tangan hendak berjabat. "Anthony", kusambut tangannya. Genggaman tangannya lembut. Rasanya seperti menggenggam sejumput awan.


(Bersambung)

Comments

Popular Posts