Senja Yang Tak Diinginkan

Aku Mirsani asal Lumajang, Jawa Timur. Waktu tubuhku masih segar, orang memanggilku Mbok Mir si tukang cuci. Setelah menua, aku dikenal dengan Mbah Mir. Takdir yang menuntunku ke belantara ibu kota Jakarta. Suamiku sudah meninggal 45 tahun lalu. Aku hanya punya satu anak. Anak laki-laki yang sangat kucintai. Tapi kini aku sebatang kara. Ke mana anakku? Nanti saja kuceritakan.

Pikiranku melayang ke masa terindah dalam hidupku. Aku lahir tahun 1935. Sepuluh tahun sebelum kemerdekaan. Aku tumbuh menjadi gadis berparas cukup menawan, berwajah bulat, kulit kuning langsat, dan bertubuh sintal, adalah anak Kepala Desa. Keluargaku termasuk yang terpandang karena Bapak pejabat desa. Aku pun bisa sekolah karena hanya anak-anak pejabat dan orang kaya yang dibolehkan sekolah. Itu sebabnya aku bisa membaca, menulis dan berhitung.

Saat usiaku menginjak 15 tahun, Bapak menjodohkanku dengan Sumitro, anak Kepala Desa sebelah. Kenapa harus aku? Karena aku hanya dua bersaudara. Sedangkan kakakku laki-laki. Untuk perempuan desa waktu itu, 15 tahun adalah usia ideal untuk menikah kalau tidak mau disebut tidak laku atau kasarnya perawan tua. Sumitro memang tampan dan pintar. Dia digadang-gadang menjadi Kepala Desa berikutnya, menggantikan ayahnya. Tapi aku tidak mencintainya. Aku jatuh cinta pada seorang pemuda biasa saja bertubuh tegap dan berkulit sawo matang. Aku tahu Bapak akan marah besar kalau tahu aku mencintai Salim, tukang bersih-bersih kandang sapi kami.

Tak tahan dengan perjodohan dan tanggal pernikahan yang kian dekat, aku membulatkan tekad mengaku pada Bapak. Mengakui perasaanku yang mendalam pada Salim. Sesuai prediksi, Bapak marah besar. Ia menamparku keras sekali. Ibu menangis di pojok ruang tamu tak bisa berbuat apa-apa. Sementara Mas Marsudi, kakakku, berusaha menahan Bapak yang hendak menghajarku lagi. Bapak mengalah untuk tidak kembali menghajarku. Tapi Bapak memberiku 2 pilihan. Menjadi anak berbakti dengan menyetujui perjodohan yang berarti melupakan Salim. Atau memilih Salim yang berarti aku dicoret dari daftar warisan dan diusir dari kampungku.

Semalaman aku berpikir keras. Batinku bergolak. Antara jadi anak berbakti tapi tidak bahagia atau mengejar cintaku. Aku pun memilih opsi kedua. Aku meninggalkan sepucuk surat untuk keluargaku. Berisi permohonan maaf yang teramat dalam atas pilihanku yang nyeleneh. Aku sedang dimabuk kepayang hingga rasanya aku sanggup mengalahkan dunia.

Hanya berbekal baju seadanya, aku membawa serta isi celenganku. Bersama Salim, kami ke Jakarta. Kenapa Jakarta? Aku memang memimpikan suatu hari menginjakkan kaki di Jakarta. Aku tergoda cerita kakak sepupuku yang pernah ke Jakarta. Aku ingin mengalami sendiri kisah yang hanya bisa kudengar selama ini.

Sesampainya di Jakarta, aku dan Salim menikah di KUA. Kami pun mengontrak seadanya dengan uang yang kubawa. Salim bekerja serabutan. Mulai dari jadi kuli panggul hingga kuli bangunan. Kami hidup sangat sederhana. Sungguh berbeda dengan kehidupanku saat tinggal bersama Bapak yang berkecukupan bahkan kadang berlimpah. Tapi aku bahagia.

Di tahun kesepuluh pernikahan kami, tepatnya tahun 1960, yang kami nantikan pun datang. Tuhan menitipkan janin di rahimku. Sembilan bulan aku membawanya di dalam tubuhku. Ketika lahir dengan dibantu dukun beranak kala itu, aku dan suamiku bersuka cita. Seorang bayi laki-laki berkulit sawo matang dan berwajah mirip aku ibunya, tiba-tiba saja menjadi kiblat kami. Segala doa dan harapan senantiasa kami tujukan padanya meski suamiku masih bekerja serabutan. Kami rela tidak makan asal anak semata watang kami yang kami beri nama Bagus Sugiharto beroleh gizi meski seadanya.

Setiap nama mengandung makna. Begitu pula nama anak kami. Bagus Sugiharto. Kelak kami berharap Ia menjadi lelaki yang berperilaku dan budi pekerti bagus atau baik. Sementara Sugiharto dari bahasa Jawa. Sugih berarti kaya. Arto berarti uang. Sehingga hidupnya akan berkecukupan karena harta yang berlimpah.

Kebahagiaan kami kembali teruji. Suamiku pergi untuk selamanya saat Bagus berusia 10 tahun. Separuh jiwaku pergi bersamanya. Bagai layang-layang yang putus benangnya, aku seperti terombang-ambing. Kalut akan masa depan Bagus. Masa depan kami. Meski hidup kekurangan, suamiku tak pernah mengijinkanku bekerja membantunya. Hanya keterampilan mengurus rumah tangga yang kupunya. Sementara Bagus harus tetap sekolah. Aku pun menjadi buruh cuci. Dalam sehari aku bisa berpindah-pindah hingga 3 rumah untuk mencuci dan menyetrika. Sejak itu lah aku dipanggil Mbok Mir si tukang cuci.

Aku tak peduli kulit tanganku yang jadi kasar dan tak jarang terkelupas karena tajamnya deterjen asalkan Bagus bisa tetap sekolah. Hanya Ia harapanku di masa tua. Aku ingin mewujudkan cita-citaku dan mendiang suamiku untuk menjadikan Bagus seseorang terpelajar tidak seperti kami. Beruntung aku mendapat para majikan yang murah hati. Mereka memberi upah lebih atas jerih payahku.

Tahun demi tahun kulewati. Bagus beranjak dewasa. Ia mendapat beasiswa kuliah di tempat yang kelak mengantarnya menjadi pejabat daerah. Di saat wisudanya pun, aku masih tak percaya. Bagus yang dulu kutimang, selangkah lagi menjadi orang sukses. Aku menitikkan air mata.

Aku tak pernah meminta apa pun dari Bagus. Kalau Ia memberi, kuterima dengan penuh rasa syukur dan kupergunakan sebaik mungkin. Aku pun masih menjadi buruh cuci. Aku tak hendak menggantungkan hidupku pada putra semata wayangku yang kini telah berumah tangga dan memberikanku cucu yang cantik. Aku tetap memilih tinggal di gubuk reyotku. Kebahagiaan Bagus di atas segalanya bagiku.

Hingga suatu hari, Bagus yang kini menjadi Wali Kota, ikut pencalonan Gubernur. Ia mendatangi gubuk reyot tempatnya dilahirkan. Ia meminta restuku yang sudah barang tentu kuberikan tanpa diminta. Namun ada satu permintaannya yang mengejutkanku. Ia meminta maaf bila nanti saat kampanye tidak menyertakanku. Ah, rupanya Ia malu mengakuiku yang hanya buruh cuci. Ia malu diketahui publik bahwa gubuk reyot ini lah cikal bakalnya. Ia lebih memilih mengakui mertuanya yang importir daging sapi. Aku tersenyum menatap Bagus-ku meski hatiku menangis sejadi-jadinya. Bagus meminta maaf sambil mencium kakiku. Ia berjanji akan memberiku tempat yang jauh lebih layak. Tempat di mana aku akan memiliki banyak kawan.

Lamunanku terhenti saat Lina mengetuk kamarku. Ia gadis yang ramah sekali. Sangat perhatian dengan lansia sepertiku. Ia mengingatkanku sudah waktunya makan siang. Aku pun berjalan menuju ruang rekreasi. Bukan ruang makan. Aku ingin menonton televisi. Aku rindu Bagus-ku. Benar saja. Saat aku memencet remote tv, wajah Bagus-ku yang terlihat. Ia sedang mengunjungi sebuah panti asuhan. Sesuai harapanku dan mendiang suamiku. Bagus menjadi orang sukses. Gubernur. Keringat dan air mata kami lunas terbayarkan. Namun hatiku menjerit. Aku melihat sekelilingku. Ada dua lansia laki-laki dan perempuan yang sedang berbincang-bincang. Pak Marto dan Bu Sam. Mereka bernasib sama sepertiku. Kami senja yang tak diinginkan meski setiap bulan kiriman dari anak kami selalu sampai. Tapi bukan itu yang kami nantikan.

Comments

Popular Posts