Rindu Bintang

"Namaku Rindu," aku mengulurkan tangan.

"Saya Bintang." jawab laki-laki di hadapanku dengan sopan dan sedikit mengangguk.

"Nama kamu unik. Rindu." laki-laki itu bertanya jujur. Tidak ada kesan dibuat-buat apa lagi merayu.

"Iya. Ibu yang memberi nama itu. Saat aku lahir, ayah sedang di luar kota. Tugas di Atambua. Menjaga perbatasan. Maklum tentara. Ibu merindukan kehadiran ayah saat kelahiranku. Tapi apa daya." jawabku rinci.

"Kalo kamu kenapa dikasih nama Bintang?" tanyaku balik.

"Namanya juga orang desa, Teh. Kami biasa menamakan anak sesuai dengan apa yang dilihat. Waktu emak mulas hendak melahirkan saya, hari sudah malam. Tidak berapa lama, saya lahir. Bapak yang kegirangan setelah menantikan kehadiran anak setelah 7 tahun menikah, tidak sempat menyiapkan nama. Bapak menengadahkan tangan dan bersyukur pada Allah. Nah sambil menengadahkan tangan, bapak juga mendongakkan kepalanya. Saat itulah bapak melihat banyak sekali bintang di langit. Jadi lah saya dinamakan Bintang." Jelas Bintang dengan mata yang berbinar.

"Wah, seru ya proses pemberian nama kamu." Kagumku. Tunggu dulu, kagum? Aku kagum dengan pria desa? Apa kata teman-temanku kalau tahu seorang Rindu, mahasiswi yang masuk kategori cemerlang secara akademik dengan rupa yang tidak bisa dibilang jelek bahkan cenderung banyak penggemar dan tenar di kampus ternyata mengagumi seorang pria desa? Aku menggelengkan kepalaku. Untuk mengusir lamunan absurd sesaat itu.

"Ah biasa saja kok, Teh. Tapi terima kasih kalau dibilang seru. Teteh kenapa menggeleng? Sakit kepala? Teteh sudah makan?" Tanya Bintang. Rupanya aku mengelengkan kepala terlalu keras hingga kentara olehnya.

"Oh nggak. Gue nggak apa-apa. Cuma ini tadi kayak ada serangga terbang deket telinga. Makanya aku geleng-geleng kepala biar serangganya pergi". Aku buru-buru memberi alasan.

Ini adalah hari keduaku Kuliah Kerja Nyata (KKN), di desa Bojong, Purwakarta, Jawa Barat. Sebagai seorang dokter, kelak aku harus siap ditempatkan di mana saja, termasuk desa terpencil sekali pun. Desa Bojong memang bukan termasuk kategori terpencil karena masih mudah aksesnya dicapai dari kota Purwakarta. Tapi tetap saja bagiku ini desa. Yang sudah barang tentu jauh berbeda dengan kota. Baik dari segi kultur dan pola pikir penduduknya. Jadi, di sini lah aku. Rumahku selama 30 hari ke depan.

Dari kelasku, dosen pembimbing membagi kami menjadi 4 kelompok berisi 5 orang tiap kelompoknya. Kelompokku mendapat tugas KKN di desa ini. Semalam Bobby, Rio, Suci, Disa dan aku rapat di rumah kepala desa untuk pembagian tugas. Aku mendapat tugas di Puskesmas. Sementara Bobby dan Suci di Posyandu, dan Rio serta Disa memberikan penyuluhan kesehatan di Balai Desa.

*****

Semalam Pak Yana, Kepala Desa, memberitahuku bahwa aku akan dibantu seorang mantri di Puskesmas. Tapi sudah 15 menit aku di Puskesmas, aku belum bertemu bahkan melihat sang mantri desa. Bagaimana warga desa bisa terlayani dengan baik kesehatannya bila mantrinya terlambat. Beruntung ada Bintang. Pria desa yang sopan. Ia sigap sekali membantuku. Aku memintanya mendata obat-obatan yang ada di Puskesmas. Kemudian Ia juga membantuku mencatat obat-obatan yang tidak ada di puskesmas. Aku yang menyebutkan nama obatnya, Bintang yang menulisnya di daftar belanja obat.

Jam 12 siang. Perutku mulai keroncongan.
"Teh, teteh bawa bekal makan siang nggak? Ini udah jamnya makan siang. Atau teteh mau pulang dulu ke rimah Pak Kades?", pertanyaan Bintang seperti membaca pikiranku.

"Nggak bawa. Nanti deh setengah jam lagi pulang ke rumah Pak Kades buat makan siang" jawabku.

"Tapi pasti Teh Rindu udah lapar. Jangan dibiasain telat makan Teh, nanti bisa sakit maag".

"Kamu sendiri nggak makan?" tanyaku.

"Saya bawa bekal. Tadi kebetulan emak udah selesai masak. Oiya, kalau Teteh mau, saya bawa juga lontong isi oncom." Bintang membuka isi rantang 2 susunnya. Di susunan atas adalah makan siangnya lengkap dengan nasi dan lauk ayam goreng, sambal dan lalap. Sementara susunan bawah berisi 2 buah lontong isi oncom yang ditawarkannya padaku. Ia pun menyodorkan rantang isi lontong.

"Cobain deh Teh. Ini enak. Jajanan tradisional buatan emak saya. Emak sering dapat pesanan lontong isi untuk acara selametan dan arisan." Bintang mempromosikan lontong emaknya.

Aku jadi tergoda. Seperti apa sih lontong isi buatan emaknya Bintang. Kuambil satu. Kubuka daun pisang pembungkus lontong dan kugigit. Sambil mengunyah, mataku terbelalak. "Wooowww", teriakku spontan.

"Kenapa Teh? Pedas ya? Minum dulu Teh." Bintang panik sambil mengambil gelas berisi teh manis yang sudah tak panas lagi dari atas meja.

"Nggak kok. Aku nggak apa-apa. Ini bukan karena kepedesan." Aku tak bisa menahan tawaku karena melihat tingkah Bintang yang panik tadi.

"Aku tadi teriak wow kekencengan ya? Hahahaha... Itu tadi karena aku takjub sama rasa lontong isi emak kamu."

"Kenapa Teh? Nggak enak ya rasanya?"

"Nggak enak." Jawabku cepat.

"Maaf Teh kalo nggak enak. Saya nggak akan nawarin Teteh lontong buatan emak saya lagi. Sekali lagi maaf Teh." Bintang merasa tak enak padaku dan mengambil lontong yang sudah kugigit dan masih kupegang.

"Eh apa-apaan sih? Mau kamu kemanain lontongku? Nggak sopan amat. Aku kan lagi makan." Aku pun menarik lagi lontong dari tangan Bintang.

"Lho tadi Teh Rindu bilang lontongnya nggak enak. Makanya saya ambil. Mau saya buang."

"Aku emang bilang nggak enak. Tapi itu karena lontong emak kamu tuh enaaaaakkk bangggeeettt tauk" aku pun menggigit lagi lontong yang baru segigitan tadi.

"Ahahahahaha Teh Rindu nih bisa aja. Kirain beneran nggak enak." Bintang tertawa sambil mengurut dadanya lega. Aku pun tertawa bersamanya.

Aku menceritakan keseruan kuliah kedokteran. Betapa mengasyikkannya tak lama lagi aku akan lulus karena sekarang semester VII. Bintang menyimak dengan antusias. Ia pun bertanya aku ingin menjadi dokter apa. Kujawab mantap ingin jadi Dokter Spesialis Anak karena aku suka anak-anak.

Hari ini pun berlalu tanpa ada satu pun warga yang berobat di Puskesmas. Aku dan Bintang pulang ke rumah masing-masing pukul 16.00.

*****

Hari kedua di Puskesmas. Baru saja Puskesmas dibuka jam 9, tiba-tiba seorang perempuan paruh baya datang tergooh-gopoh. Bahkan saking tergesanya, kaki kanannya terantuk kursi di meja pendaftaran. Perempuan itu terlihat panik.

"Pak Mantri mana Pak Mantri? Saya butuh dia. Anak saya panasnya tinggi sekali." Sambil berujar, mata perempuan itu liar melihat-lihat ke seantero ruangan mencari seseorang yang disebutnya Pak Mantri.

Aku menghampirinya. "Maaf Bu. Ibu mencari siapa? Tidak ada Pak Mantri di sini. Yang ada saya. Sama saya aja. Anak ibu kenapa?" Aku berusaha menenangkannya.

"Ah yang bener? Kamu teh siapa pake nanya-nanya saya segala. Saya mau Pak Mantri." Baru kali ini aku diomeli sama seorang penduduk desa.

Masih dengan sabar, aku mencoba bertanya sekali lagi. "Saya calon dokter, Bu. Mungkin saya bisa membantu Ibu. Apa lagi sejak kemarin saya di sini, saya nggak lihat ada Mantri."

"Eh maneh teh kalo dikasih tau ngeyel yah. Saya itu cari Pak Mantri. Bukan calon dokter. Lagian kan maneh masih calon. Tau apa sih?" Ibu itu menjawab sambil menunjuk-nunjuk wajahku dengan telunjuknya. Tiga gelang keroncong di tangan kanannya bergemerincing beradu satu sama lain saat Ia mengacung-ngacungkan telunjuknya. Dari perhiasannya, sepertinya status sosial Ibu ini termasuk ada di peringkat atas. Selain gelang, Ia juga mengenakan cincin emas 24 karat bermata satu, kalung emas sekitar 20 gram tanpa liontin, dan anting-anting berlambang Louis Vuitton. Jawaban ketusnya membuatku mulai naik pitam. Tapi aku masih mencoba sabar. Sampai akhirnya Bintang muncul. Ia sudah memberitahuku bahwa agak telat datang.

"Nah ini dia Pak Mantri. Pak Mantri, anak saya, si Ika, kumat lagi ayannya. Tapi dari tadi saya dihalangin awewe ini. Katanya Pak Mantri nggak ada." Ibu itu bicara seperti tanpa bisa direm. Tapi tunggu dulu. Dia tadi menyebut Bintang dengan sebutan Pak Mantri?

"Oh maaf Bu Lia, saya memang baru sampai. Jadi, Teh Rindu nggak salah dengan bilang nggak ada Pak Mantri di sini. Ayo kita ke rumah Bu Lia sekarang. Kita periksa Ika." Jawab Bintang penuh dengan sopan santun khasnya. Sementara aku masih terbengong-bengong.

"Bintang, aku ikut. Lagian kamu utang penjelasan padaku." Kataku setengah memaksa. Bintang hanya mengangguk kecil. Ia pun membuka pintu lemari yang di ujung dan menarik tas dari dalamnya. Kami pun menuju rumah Bu Lia.

*****

Sepulang dari rumah Bu Lia, aku dan Bintang berjalan kaki tanpa bersuara. Seolah sibuk dengan pikiran masing-masing, bingung mau bicara apa.

"Bintang."
"Teh Rindu."

Sontak kami tertawa karena kami bicara bersamaan.

"Kamu dulu deh." Putusku.

"Nggak. Teh Rindu aja duluan."

"Hmmm...ok. Kenapa nggak bilang dari awal kalo kamu Mantri di desa ini? Sengaja mau mempermainkanku ya?" Tanyaku penuh selidik. Dalam hati aku menyalahkan Pak Kades yang tidak memberitahuku perihal siapa Bintang.

"Nggak Teh. Sama sekali saya nggak bermaksud begitu."

"Trus kenapa?"

"Yah abisnya Teh Rindu nggak nanya waktu pertama kita kenalan." Jawab Bintang seolah tanpa beban.

Tapi jawaban itu menamparku. Hati kecilku membenarkan jawaban Bintang. Aku memang tidak menanyakan siapa dia saat pertama berkenalan. Aku terlalu sombong. Aku sibuk menceritakan kisahku tanpa sedikit pun peduli kisahnya. Aku suka menjadi pusat perhatian. Mungkin karena aku anak bungsu perempuan satu-satunya dari 3 bersaudara. Aku terbiasa dipuja.

"Kenapa Teh? Kok diam? Ada yang salah ya dari kalimat saya?" Tanya Bintang membuyarkan lamunanku.

"Nggak. Kamu benar Bintang. Eh maksud saya Pak Mantri. Saya terlalu pongah menganggap orang desa kemampuannya di bawah saya." Wajahku memanas karena malu mengakui kesalahanku. Tapi kejujuran Bintang menyentil egoku.

"Maaf, saya nggak pengen membuat Teh Rindu jadi ngerasa nggak enak. Panggil saya Bintang saja. Sebagai bentuk permintaan maaf saya karena nggak jujur, nanti malam Teh Rindu ada acara nggak?"

"Malam ini aku nggak ada acara." Jawabku.

"Saya jemput Teh Rindu jam 8 setelah Isya ya. Saya mah tunjukin sesuatu sama Teh Rindu."

Aku mengangguk. Seribu rasa berkecamuk. Antara malu dan penasaran.

*****

Bintang menepati janjinya. Ia datang. Bintang tampak rapih dengan celana jins biru tua dan kaos putih yang dirangkap dengan kemeja kotak-kotak biru hitam. Aku mengenakan celana jins belel dan sweater coklat muda.

"Nggak apa-apa kan Teh kalo kita naik sepeda?"

"Nggak apa-apa. Jadi kita mau ke mana?"

"Ayo naik dulu. Nanti juga Teh Rindu akan tau."

"Kamu nggak akan culik aku kan? Karena kalo kamu punya niat itu, aku bakal teriak keras-keras."

"Hahahaha nggak Teh. Saya kalo mau nyulik juga milih-milih. Ga akan nyulik yang cerewet kayak Teh Rindu."

Kami pun tertawa.

Bintang mengayuh sepedanya menjauhi desa. Ke tempat yang jauh lebih tinggi. Kami tiba di sebuah tanah lapang berumput. Kuedarkan pandangku. Tampaknya tempat ini biasa digunakan sebagai lapangan bola karena ada dua tiang di sebelah kanan dan dua tiang lagi di sebelah kiri yang mungkin difungsikan sebagai gawang.

"Kita mau ngapain di sini?" Tanyaku.

"Tiduran."

"Hah? Kamu mesum. Aku mau pulang." Aku membalikkan badan siap berlari.

Bintang meraih lengan kiriku.
"Tunggu Teh. Jangan salah paham."

"Lepasin tanganku Bintang, atau aku akan teriak."

"Tolong percaya sama saya kali ini."

Aku ketakutan. Tapi aku penasaran. Tidak ada alasan untukku tal mempercayainya. Ia pria desa yang sopan. Aku menyerah. Padahal aku takut gelap. Lapangan ini tanpa penerangan. Hanya cahaya rembulan yang meneranginya.

Bintang duduk di atas rumput dan tidur menengadah.
"Ayo sini Teh. Di sebelah saya." Ajaknya.

Ragu aku menurutinya. Aku menatapnya diam-diam sembari menunggu instruksi selanjutnya.

"Teh Rindu, coba perhatikan di atas sana." Bintang menunjuk ke atas. Mataku mengikuti arah yang ditunjuknya. Aku menatap takjub.

"Ada berapa banyak bintang, Teh?"

"Ribuan. Atau bahkan jutaan." Jawabku masih terpana melihat betapa cantiknya bintang-gemintang nun jauh di cakrawala. Baru kali ini aku melihat langit bertabur begitu tak terhingga.

"Ini mengapa saya begitu mencintai desa. Saya tidak pernah mendapatkan lukisan malam secantik ini di kota. Selepas SMA, saya mendapat beasiswa D III Keperawatan di Bandung. Setelah lulus, saya kembali ke sini karena rindu bintang. Saya pun memilih menjadi mantri di sini."

"Apa kamu puas hanya dengan jadi mantri desa?" Tanyaku.

"Nggak. Saya bercita-cita mendirikan Rumah Sakit di desa ini Teh. Saya sekarang kuliah lagi. Ambil jurusan kedokteran di Bandung. Baru semester 3. Makanya saya senang dengar cerita Teh Rindu tentang perkuliahan."

"Kamu hebat. Saya jadi malu. Keinginan kamu untuk selalu maju dan jadi lebih baik, bener-bener inspiratif." Kataku. Ini pertama kalinya aku mengakui kelebihan seseorang. Ini pertama kalinya aku memuji orang lain atas kelebihannya dariku.

"Teh Rindu,"

"Panggil saya Rindu aja. Toh kamu lebih tua kan?"

"Rindu, kamu tau kenapa saya suka melihat bintang?"

"Karena sama dengan namamu."

"Bukan. Tapi karena ada kedamaian saat melihat hamparan gemintang di langit. Kerlipnya menawan. Bermain mata setiap saat tanpa bermaksud merayu."

Aku meresapi tiap kalimat Bintang sambil menatap lurus ke arah yang dimaksud.

"Mereka tampak begitu kecil dan jauh tak tersentuh. Mereka tau banyak dikagumi. Milyaran pasang mata memandang mereka takjub. Tapi pernahkah kamu membayangkan apa kira-kira pendapat bintang dari atas sana saat melihat kita manusia? Bisa jadi mereka tak bisa melihat kita karena kita tak berkerlip."

Aku masih berusaha mencerna perkataan Bintang.

"Seperti itulah kira-kira yang terjadi di dunia nyata tempat kita bernaung. Kita kerap menengadah menatap kagum orang-orang yang jauh lebih sukses. Menatap silau akan yang mereka miliki. Lantas, bagaimana cara orang yang sedang di atas melihat ke bawah? Tak ubahnya seperti bintang yang sulit melihat manusia. Kaum yang memiliki kelebihan kerap tidak bisa karena tidak mau melihat orang-orang yang sedang berada di bawah. Mereka lupa bahwa roda kehidupan berputar dan belum tentu yang di bawah itu tak bisa apa-apa." Bintang terus berujar sambil memandang langit. Sementara aku, tidak melihat bintang di langit, melainkan Bintang yang di sebelahku yang ternyata cerdas di luar dugaanku. Aku kagum dengan tuturnya yang lugas memaknai hidup. Tiba-tiba Bintang menatapku. Mungkin karena terasa ada yang memperhatikannya dalam gelap. Aku tersipu.

"Kamu bosan ya?" Tanya Bintang.

"Nggak. Aku... Aku cuma pengen lihat Bintang yang lain. Yang nyata di bumi."

Bintang tersenyum. "Tapi lagi-lagi itu hanya pendapat saya aja tentang filosofi bintang. Yang jelas, saya suka melihat bintang sambil menitipkan rindu saya sama Bapak. Beliau berpulang saat saya masih 7 tahun. Setiap kali saya melihat bintang, saya seolah melihat Bapak di antara kerling manja bintang. Saya bersyukur Bapak memberi saya nama Bintang. Secara harafiyah,  bintang adalah benda langit terdiri atas gas menyala seperti matahari, terutama tampak pada malam hari. Meski Bapak memberi saya nama secara spontan saat melihat bintang, mudah-mudahan saya bisa seperti bintang. Membagi ilmu meski baru sedikit kepada yang membutuhkan."

Aku terharu. Tanpa Bintang sadari, perkataannya mencerahkanku. Aku pun berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lekas berpuas atas apa yang kumiliki.

Malam itu pun menjadi awal dari malam-malam selanjutnya bagiku dan Bintang untuk menikmati bintang bersama.

*****

Esok adalah saatnya aku dan teman-temanku menyudahi KKN kami di desa ini. Ada sedih menyeruak dari dalam. Aku akan merindukan Bintang dan bintang.

"Hai Rindu," Sapa Bintang mengagetkanku yang tengah melamun di teras rumah Pak Kades.

"Hey.. Yuk kita berangkat sekarang." Ajakku pada Bintang sambil loncat ke bagian belakang sepeda siap dibonceng.

Seperti biasa, kami memandangi bintang sambil merebahkan tubuh di atas lapangan berumput.

"Bintang, gimana caranya kalo aku rindu bintang? Di Jakarta mustahil bisa melihat bintang sebanyak ini."

"Kamu cukup menengadah aja menatap langit. Karena di saat yang sama, saya juga akan menatap langit." Aku merasakan tangan Bintang menggenggam tanganku lembut tapi erat seolah meyakinkanku tanpa kata bahwa seperti ini lah rasanya nanti setiap aku melihat ke arah langit. Rasa hangat menyusup ke relungku. Aku akan mengingat rasa dan momen ini.  Aku pun membalas genggamannya erat.

*****

Mobil yang membawa kami melaju perlahan karena jalanan yang berbatu. Bayangan desa Bojong semakin menjauh. Handphoneku bergetar. Whatsapp dari Bintang.

Bintang:
Hati-hati ya di jalan. Belajar yang rajin biar cepat lulus.

Aku membalas:
Siap Pak Mantri! Liburan semester nanti main ke Jakarta yaaa :)

Bintang:
Iya. Untuk sementara, saya titip Rindu pada bintang ya..

Senyum tersungging di bibirku. Tak sabar menanti libur semester.


The stars are bright tonight
And I am walking nowhere
I guess I will be alright
Desire gets you nowhere

And you are always right
And my, you are so perfect

Take you as you are
I'll have you as you are
I'll take you as you are

I love you just the way you are
I'll have you just the way you are
I'll take you just the way you are
Does anyone love the way they are?

The stars are bright tonight
A distance is between us
And I will be okay
The worst I've ever seen us

Still I have my weaknesses
Still I have my strengths
And still I have my ugliness
But I..

I love you just the way you are
I'll have you just the way you are
I'll take you just the way you are
Does anyone love the way they are? (x2)

Star, star...
-The Cranberries "Stars"-
















Comments

Popular Posts