Being Jobless is Fine

Siapa yg pengen jobless? No one.
Siapa yg bercita-cita jobless? No one.
Siapa yg bermimpi jobless? No one.

Jobless menjadi kata yang ditakuti siapa saja. And yes termasuk saya.

Perasaan "tak laku di pasaran" belum lagi ditambah kocek yang semakin hari semakin tipis di tengah tuntutan ekonomi yang semakin tinggi menambah angker kata jobless.

Plus kekhawatiran jadi bahan omongan keluarga besar dan tetangga...hiiii...

Tapi menurut saya, ada kalanya seseorang harus melalui fase jobless ini. Jobless pun juga bukan semata-mata momok. Jobless bisa jadi healing. Jobless bisa juga karena pilihan bukan paksaan satu pihak dalam hal ini "bos".

Orang boleh mendambakan kerja di tempat bagus, berpakaian rapi, berpenghasilan besar. Tapi apa hanya itu patokan kebahagiaan dan kesuksesan seseorang? Bagi saya, bukan.

Penghargaan, kenyamanan, kekeluargaan, toleransi, dan komunikasi yang berjalan dua arah menjadi hal-hal paling penting yang tidak bisa dibeli dengan uang. Mau sebesar apapun gaji seseorang, tapi kalau hal-hal yang saya sebut tadi nggak diperoleh dan dirasakan, pekerjaan akan terasa hambar. Jauh dari kebahagiaan. Melaksanakan perintah juga penuh keterpaksaan. Seperti robot.

Kalau sudah begitu, untuk apa bertahan lebih lama lagi di perusahaan itu? Hanya buang-buang waktu dan energi. Setiap hari hanya bisa mengelus dada, bersabar menahan amarah. Efeknya nggak baik lho bagi kesehatan baik lahiriah dan batiniah.

Kalau saya, lebih baik memutuskan mengundurkan diri daripada makan hati. Jobless. Emang lebih baik keputusan itu diambil saat sudah ada "lahan yang baru". Tapi kalau keadaan semakin nggak kondusif, lebih baik jobless sementara.

Nggak perlu takut dengan omongan orang karena mereka tidak merasakan apa yang kita rasakan.

Saya percaya, Tuhan punya rencana yang indah. Saya juga percaya, kalau rejeki tak akan kemana. Sudah diatur oleh-Nya. Insya Allah tidak akan lama masa jobless itu menghampiri. Tetap berusaha and let God do the rest :)

Comments

Popular Posts