Jauhkan Anak Dari Ujaran Kebencian dan Intoleransi

Saya yakin semua setuju kalau keunggulan makhluk yang belum berdosa bernama anak adalah kepolosan dan ketulusan mereka. Komentar yang terlontar dari mulut mungil mereka adalah spontanitas dari pemikiran yang masih murni. Pertanyaan yang tercetus pun memang karena ingin memuaskan rasa haus mereka akan segala informasi dan pengetahuan di sekitar. Apa yang mereka lihat akan langsung ditiru tanpa mampu membedakan mana baik dan salah. Mereka mengimitasi. Itu sebabnya semua sepakat bila anak dianalogikan dengan spons yang mampu menyerap. Orang tua mengatakan, berilah contoh pada anak kalau hendak mengajari mereka karena mereka belum terlalu paham rangkaian kata.

Baru-baru ini ada hal yang mengusik perhatian. Sebuah video beredar dan menjadi viral di dunia maya. Video yang konon kabarnya direkam saat pawai obor jelang ramadan di suatu lokasi di Jakarta. Pawai diikuti anak-anak yang entah berapa jumlah pastinya karena gambar diambil dari jauh dan kondisinya malam pula. Pada umumnya setiap pawai, peserta menyerukan kalimat-kalimat atau nyanyian tertentu. Tapi di pawai yang satu ini kalau dicermati, ada bagian yang menyuarakan kebencian yang tidak sepantasnya keluar dari mulut anak-anak. Sebaris kalimat yg menyuarakan bunuh seseorang sekarang juga yang tak lain orang itu adalah orang yang pernah menjadi orang pertama di kota ini dan kini mendekam di balik jeruji besi karena kasus penistaan agama. 

Terlepas dari bersalah atau tidaknya orang tersebut, meski putusan hakim merujuk pada pasal yang berbeda dengan dakwaan jaksa penuntut umum, Ia pernah berjasa bagi kota ini. Tidak ada yang menyangkal sejumlah terobosan dan upaya yang dilakukannya demi membuat kota ini rapih dan lebih baik lagi. Setidaknya itu yang saya rasakan. Pengalaman tiap orang berbeda tergantung pada situasi dan kondisi. Menurut saya, biarkanlah kasus itu menjadi tugas penegak hukum. Percayakan kepada mereka meski kenyataannya membangun dan menjaga kepercayaan itu sulit. 

Yang membuat terhenyak adalah ujaran kebencian yang tidak pantas didengar itu, terucap dari mulut anak-anak. Anak-anak yang seharusnya dikelilingi kebaikan dan kata-kata lembut agar kelak menjadi orang yang penuh toleransi dan tenggang rasa kepada semua makhluk ciptaan sang Maha Kuasa karena sejatinya yang membuat manusia berbeda adalah pilihannya dalam berkeyakinan. Sehingga kelak anak-anak tidak dengan mudahnya melabeli orang lain dengan julukan kafir. Tidak ada yang salah dengan perbedaan. Justru keberagaman dan toleransi itu lah yang selama ini melekat dengan citra negara ini di mana sebagai negara berpenduduk pemeluk islam terbesar di dunia, tetapi mampu menjaga toleransi antarumat beragama. Setidaknya itu yang ditanam para guru kepada saya sejak kecil. Bahwa saling menghargai umat beragama yang lain adalah hal yang penting dalam berbangsa dan bernegara. Sekilas kalimat itu tampak klise dan mudah dilakukan namun sesungguhnya hal itulah yang kini mulai terasa pudar di negeri ini. Saya tidak mengerti kapan dan di mana letaknya missing link itu sehingga kini banyak bermunculan tindakan intoleran hingga yang paling mudah dijumpai adalah di media sosial. Sistem yang mana yang harus dibenahi di negara ini agar toleransi kembali membudaya, agar kata kafir tidak dengan mudahnya diucapkan. Hingga yang paling miris adalah ketika kata kafir diucapkan anak-anak.

Kembali ke sederet lagu yang dinyanyikan sejumlah anak peserta pawai obor beberapa waktu lalu. Dari mana dan siapa kah yang mengajari mereka menyanyikannya. Apakah sudah begitu terbiasanya anak-anak dengan kekerasan dan ujaran kebencian? Saya khawatir karena saya juga punya anak. Saya akan jadi orang pertama yang memarahi anak saya jika (mudah-mudahan tidak) suatu saat Ia mengatai orang lain kafir. Atau bahkan menyanyikan lagu bermuatan kebencian seperti di video viral pawai obor. Selain lagu yang tidak pantas itu, akhir-akhir ini ramai istilah menyebut orang lain kafir, bila orang tersebut bukan pemeluk agama islam. Menyebut orang lain kafir tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pemahaman saya, selama orang itu masih beragama, Ia tidak bisa disebut kafir. Setidaknya itu pelajaran yang saya dapat sejak kecil. Koreksi saya kalau salah. Tapi terlepas benar atau tidaknya pemahaman saya, tidak seharusnya kita dengan mudahnya mengkafirkan orang lain. Bukan hak kita pula untuk menilai kekafiran seseorang. 

Sedihnya, beberapa orangtua sudah mengeluhkan betapa terkaget-kagetnya mereka, saat anaknya menanyakan atau menyebut orang lain sebagai kafir. Usut punya usut, anak-anak itu mendengarnya dari guru mereka di sekolah. Semakin mengerikan bukan? Guru yang selayaknya tingkah polah dan ucapan mereka digugu dan ditiru oleh muridnya, malah yang pertama mengajarkan kebencian. Terima atau tidak terima, ujaran kebencian itu lah cikal bakal intoleransi. Tak jarang akhirnya orangtua memindahkan anaknya dari sekolah di mana anak mereka mendengarkan kata-kata tidak selayaknya dari guru mereka. 

Negeri ini menghadapi masalah yang serius kalau tidak ditangani dengan serius dan tegas. Sejumlah tokoh lintas agama berulang kali diundang bertemu orang nomor satu di negeri ini untuk membahas dan menghentikan intoleransi. Tapi jujur saya belum merasakan perubahannya. Imbauan tegas itu belum merata sampai ke akar rumput. Kalau pun sudah sampai, tampaknya pandangan yang mereka anggap benar itu sudah begitu kuat tertanam di benak. Yang saya khawatirkan adalah bila fanatisme begitu kuat, bisa membuat radikalisme mengambil keuntungan di dalamnya. 

Lalu apa yang bisa kita lakukan setidaknya sebagai bentuk pencegahan dini supaya anak-anak terhindar menjadi sosok pembenci? Memperluas wawasan masih bertengger di posisi puncak menurut hemat saya. Banyak hal bisa dilakukan untuk memperluas wawasan, yakni dengan gemar membaca. Tidak masalah dengan fiksi atau non fiksi. Seseorang sudah seharusnya membekali dirinya dengan banyak membaca karena benar kata pepatah bahwa buku adalah jendela dunia.  Berpetualang mengunjungi tempat-tempat baru supaya bisa melihat perbedaan mulai dari kebudayaan hingga agama, juga bisa membuka cakrawala berpikir. Supaya kita bisa melihat suatu persoalan dari banyak sudut pandang. Membiasakan anak dengan keberagaman sejak kecil juga sama pentingnya. Supaya belajar bertoleransi sejak kecil dan terbiasa bergaul dengan siapa saja. Serta yang tak kalah pentingnya adalah peran orangtua yang berpikiran terbuka akan perkembangan supaya bisa mengimbangi anaknya dan mendampingi serta memberi penjelasan bila muncul bentuk-bentuk intoleransi dan ujaran kebencian. Jangan sampai anak-anak mendiskriminasi orang lain berdasarkan SARA. Karena sekali lagi, anak adalah spons penyerap yang luar biasa ampuhnya. Maka sudah selayaknya lah kita pilah hal-hal baik yang seharusnya diserap mereka agar menjadi pribadi yang penuh toleransi.

Sahabat pertama saya ketika SD adalah anak perempuan yang orangtuanya asal Nias dan beragama kristen. Ada yang unik dengan kisah persahabatan kami. Kisah berawal dari jauh sebelum saya masuk SD. Saat itu kalau tak salah, saya masih berusia 5 tahun. Masih TK. Sementara saya masuk SD usia 5,5 tahun. Saya sedang di dalam angkot di daerah tempat tinggal saya kala itu di daerah Bekasi. Saya naik angkot bersama Mama. Di depan saya duduk anak perempuan seusia saya. Yang membuat saya langsung memperhatikannya adalah rambutnya yang lebat dan panjang. Rambut saya pun panjang tapi tak sepanjang dan setebal miliknya. Saya terpana melihatnya. Keajaiban terjadi. Di hari pertama saya masuk SD, saya meihat lagi anak perempuan itu. Leslie namanya. Kami pun berkenalan dan menjadi sahabat setelahnya. Sepertinya itu ya, yang dinamakan 'klik' pada pandangan pertama. Saya seolah merasa cocok berteman dengannya pada saat melihatnyanya di angkot. Meskipun Leslie tidak ingat pernah bertemu saya di angkot, tak mengapa. Yang penting saya sudah merasa akan menjadi temannya di saat pertama saya melihatnya. Kalau akhirnya kami bersahabat, itu karena kecocokan. Sahabat adalah keluarga yang kita pilih, bukan?

Selama bersahabat dengannya, banyak hal yang kami lalui. Meski berbeda kebudayaan dan agama, (saya dari suku Jawa dan islam), tidak menjadikan kami berselisih. Dari ciri fisik pun kami berbeda. Lesli berkulit putih dan bermata sipit (karenanya Ia sering dikira Tionghoa), sementara saya berkulit khas Jawa dan bermata kebalikannya sipit. Namun kami saling mendukung. Saat natal, saya ke rumahnya, makan bersama keluarganya, menikmati makanan ringan khas natal dan kerlap-kerlipnya pohon natalnya yang sederhana. Begitu pula dengan ibadah saya sebagai umat islam. Leslie paling sering mengingatkan soal shalat dan puasa. Dari segi pendidikan, kami pun bersaing sehat. Ranking 1 dan 2 selalu berputar di antara kami. Leslie adalah orang pertama yang saya kenal pintar luar biasa. Jadi Ketua Kelas pun kami bergantian. Kalau Ia yang terpilih sebagai Ketua Kelas, maka saya Wakil Ketua Kelasnya. Begitu pula sebaliknya.

Perbedaan kami lah yang menjadikan kami dekat. Dari situ saya banyak belajar bahwa menghargai perbedaan dengan tidak mendiskriminasikan perbedaan adalah hal yang seharusnya dilakukan. Setelah Leslie, saya juga memiliki beberapa teman dekat lainnya yang beragama dan berlatar belakang berbeda dan tidak ada masalah. Mengapa kita harus sama bila berbeda itu indah?



PS: Ini semua murni opini saya. Kalau ada yang tidak berkenan, tidak masalah. Ini hanya bentuk keresahan saya melihat realita saat ini. 

Comments

Popular Posts